Hukum
Perjanjian
Nama : Mutia Azila
Kelas : 2EB10
NPM :25211046
Hukum
Perjanjian:
A. Standar
Kontrak
B.
Macam-Macam Perjanjian
C. Syarat
Sahnya Perjanjian
D. Saat
Lahirnya Perjanjian
E.
Pembatalan
dan Pelaksanaan Suatu Perjanjian
A. Standar
Kontrak
Dalam bisnis, kontrak merupakan
bentuk perjanjian yang dibuat secara tertulis yang didasarkan kepada kebutuhan
bisnis. Kontrak dalam pengertian yang lebih luas kontrak sering dinamakan juga
dengan istilah perjanjian.
Kontrak adalah suatu
perjanjian (tertulis) antara dua atau lebih orang (pihak) yang menciptakan hak
dan kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan hal tertentu.
Dalam hukum kontrak sendiri terdapat asas yang dinamakan kebebasan berkontrak. Menurut Pasal 1338 Ayat (1) KUH Perdata menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dari bunyi pasal tersebut sangat jelas terkandung asas :
Dalam hukum kontrak sendiri terdapat asas yang dinamakan kebebasan berkontrak. Menurut Pasal 1338 Ayat (1) KUH Perdata menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dari bunyi pasal tersebut sangat jelas terkandung asas :
- Konsensualisme, adalah perjanjian itu telah terjadi jika telah ada konsensus antara pihak-pihak yang mengadakan kontrak;
- Kebebasan berkontrak, artinya seseorang bebas untuk mengadakan perjanjian, bebas mengenai apa yang diperjanjikan, bebas pula menentukan bentuk kontraknya.
- Pacta Sun Servanda, artinya kontrak itu merupakan Undang-undang bagi para pihak yang membuatnya (mengikat)
- Asas kebebasan berkontrak adalah refleksi dari perkembangan paham pasar bebas yang dipelopori oleh Adam Smith. Dalam perkembangannya ternyata kebebasan berkontrak dapat mendatangkan ketidakadilan karena prinsip ini hanya dapat mencapai tujuannya, yaitu mendatangkan kesejahteraan seoptimal mungkin, bila para pihak memiliki bargaining power yang seimbang
Kebebasan
Berkontrak tersebut seringkali didapati salah satu pihak yang menentukan syarat
didalam suatu kontrak, sedangkan pihak lain hanya dapat menerima atau menolak
(misalnya dalam kontrak standar: syarat umum dari bank, syarat penyerahan dari
produsen, dan sebagainya). Tidak dipungkiri bahwa kegiatan bisnis tersebut
menjadi latar belakang tumbuhnya perjanjian baku. Menurut Gras dan Pitlo, latar
belakang lahirnya perjanjian baku antara lain merupakan akibat dari perubahan
susunan masyarakat
Standar
kontrak merupakan perjanjian yang telah ditentukan dan dituangkan dalam bentuk
formulir. Kontrak ini telah ditentukan secara sepihak oleh salah satu pihak,
terutama pihak ekonomi kuat terhadap ekonomi lemah. Kontrak baku menurut Munir
Fuadi adalah suatu kontrak tertulis yang dibuat oleh hanya salah satu pihak
dalam kontrak tersebut, bahkan seringkali tersebut sudah tercetak dalam
bentuk-bentuk formulir tertentu oleh salah satu pihak, yang dalam hal ini
ketika kontrak tersebut ditandatangani umumnya para pihak hanya mengisikan
data-data informatif tertentu saja dengan sedikit atau tanpa perubahan dalam
klausul-klausulnya dimana para pihak lain dalam kontrak tersebut tidak
mempunyai kesempatan atau hanya sedikit kesempatan untuk menegosiasi atau
mengubah klausul-kalusul yang sudah dibuat oleh salah satu pihak tersebut,
sehingga biasanya kontrak baku sangat berat sebelah.
Sedangkan
menurut Pareto, suatu transaksi atau aturan adalah sah jika membuat keadaan
seseorang menjadi lebih baik dengan tidak seorangpun dibuat menjadi lebih
buruk, sedangkan menurut ukuran Kaldor-Hicks, suatu transaksi atau aturan sah
itu adalah efisien jika memberikan akibat bagi suatu keuntungan sosial.
Maksudnya adalah membuat keadan seseorang menjadi lebih baik atau mengganti
kerugian dalam keadaan yang memeprburuk.
Unsur-Unsur
perjanjian:
1. Adanya
pihak-pihak.
Pihak-pihak
yang ada di dalam perjanjian ini disebut sebagai subyek perjanjian. Subyek
perjanjian dapat berupa manusia pribadi atau juga badan hukum. Subyek
perjanjian harus mampu atau memiliki wewenang dalam melakukan perbuatan hukum
seperti yang ditetapkan dalam undang-undang.
2. Adanya
persetujuan antara pihak-pihak.
Persetujuan
di sini bersifat tetap, dalam arti bukan baru dalam tahap berunding.
Perundingan itu sendiri adalah merupakan tindakan-tindakan pendahuluan untuk
menuju kepada adanya persetujuan.
3. Adanya
tujuan yang akan dicapai.
Tujuan
mengadakan perjanjian terutama guna memenuhi kebutuhan pihak-pihak dan
kebutuhan tersebut hanya dapat dipenuhi jika mengadakan perjanjian dengan pihak
lain.
4. Adanya
prestasi yang akan dilangsungkan.
Bila
telah ada persetujuan, maka dengan sendirinya akan timbul suatu kewajiban untuk
melaksanakannya.
5. Adanya
bentuk tertentu.
Dalam
suatu perjanjian bentuk itu sangat penting, karena ada ketentuan undang-undang
bahwa hanya dengan bentuk tertentu maka perjanjian mempunyai kekuatan mengikat
sebagai bukti.
6. Adanya
syarat tertentu.
Mengenai
syarat tertentu ini sebenarnya sebagai isi dari perjanjian, karena dengan
syarat-syarat itulah dapat diketahui adanya hak dan kewajiban dari pihak-pihak.
B. Macam-Macam
Perjanjian
Menurut Mariam
Darus Badrulzaman, perjanjian dapat dibedakan menurut berbagai cara. Pembedaan
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Perjanjian
timbal balik.
Perjanjian
timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua
belah pihak. Misalnya perjanjian jual-beli.
2. Perjanjian
cuma-cuma dan perjanjian atas beban.
Perjanjian
dengan cuma-cuma adalah perjanjian yang memberikan keuntungan bagi salah satu
pihak saja. Misalnya: hibah.
Perjanjian
atas beban adalah perjanjian di mana terhadap prestasi dari pihak yang satu
selalu terdapat kontrak prestasi dari pihak lain, dan antara kedua prestasi itu
ada hubungannya menurut hukum.
3. Perjanjian
khusus (benoend) dan perjanjian umum (onbenoend).
Perjanjian
khusus adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri. Maksudnya ialah bahwa
perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk
undang-undang, berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari-hari.
Perjanjian khusus terdapat dalam Bab V s/d XVIII KUH Perdata. Di luar
perjanjian khusus tumbuh perjanjian umum yaitu perjanjian-perjanjian yang tdiak
diatur di dalam KUH Perdata, tetapi terdapat di dalam masyarakat. Jumlah
perjanjian ini tak terbatas. Lahirnya perjanjian ini di dalam praktek adalah
berdasarkan asas kebebasan mengadakan perjanjian atau partij otonomi yang
berlaku di dalam Hukum Perjanjian. Salah satu contoh dari perjanjian umum
adalah perjanjian sewa beli.
4. Perjanjian
kebendaan (zakelijk) dan perjanjian obligatoir
Perjanjian
kebendaan adalah perjanjian dengan mana seorang menyerahkan haknya atas
sesuatu, kepada pihak lain. Sedangkan perjanjian obligatoir adalah perjanjian
dimana pihak-pihak mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan kepada pihak
lain (perjanjian yang menimbulkan perikatan)
5. Perjanjian
konsensuil dan perjanjian riil
Perjanjian
konsensuil adalah perjanjian di mana di antara kedua: belah pihak telah
tercapai persesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan-perikatan.
6. Perjanjian-Perjanjian
yang istimewa sifatnya.
- Perjanjian liberatoir: yaitu perjanjian di mana para pihak membebaskan diri dari kewajiban yang ada, misalnya pembebasan hutang (kwijtschelding) pasal 1438 KUH Perdata;
- Perjanjian pembuktian (bewijsovereenkomst); yaitu perjanjian dimana para pihak menentukan pembuktian apakah yang berlaku di antara mereka.
- Perjanjian untung-untungan: misalnya prjanjian asuransi, pasal 1774 KUH Perdata.
- Perjanjian publik: yaitu perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum publik, karena salah satu pihak bertindak sebagai penguasa (pemerintah), misalnya perjanjian ikatan dinas.
C.
Syarat sahnya Perjanjian
Agar
suatu Perjanjian dapat menjadi sah dan mengikat para pihak, perjanjian harus
memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1320 BW yaitu :
1.
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Kata
“sepakat” tidak boleh disebabkan adanya kekhilafan mengenai hakekat barang yang
menjadi pokok persetujuan atau kekhilafan mengenai diri pihak lawannya dalam
persetujuan yang dibuat terutama mengingat dirinya orang tersebut; adanya
paksaan dimana seseorang melakukan perbuatan karena takut ancaman (Pasal 1324
BW); adanya penipuan yang tidak hanya mengenai kebohongan tetapi juga adanya
tipu muslihat (Pasal 1328 BW). Terhadap perjanjian yang dibuat atas dasar
“sepakat” berdasarkan alasan-alasan tersebut, dapat diajukan pembatalan.
2.
Cakap untuk membuat perikatan;
Para
pihak mampu membuat suatu perjanjian. Kata mampu dalam hal ini adalah bahwa
para pihak telah dewasa, tidak dibawah pengawasan karena prilaku yang tidak
stabil dan bukan orang-orang yang dalam undang-undang dilarang membuat suatu
perjanjian.
Pasal
1330 BW menentukan yang tidak cakap untuk membuat perikatan :
a.
Orang-orang yang belum dewasa
b.
Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan
c.
Orang-orang perempuan, dalam hal-hal
yang ditetapkan oleh undangundang,
dan
pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat
perjanjian-perjanjian tertentu. Namun berdasarkan fatwa Mahkamah Agung, melalui
Surat Edaran Mahkamah Agung No.3/1963 tanggal 5 September 1963, orang-orang
perempuan tidak lagi digolongkan sebagai yang tidak cakap. Mereka berwenang
melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin suaminya.
Akibat
dari perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak cakap adalah batal demi hukum
(Pasal 1446 BW).
3.
Suatu hal tertentu
Perjanjian
harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan. Jika tidak, maka perjanjian
itu batal demi hukum. Pasal 1332 BW menentukan hanya barangbarang yang dapat
diperdagangkan yang dapat menjadi obyek perjanjian, dan berdasarkan Pasal 1334
BW barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi obyek
perjanjian kecuali jika dilarang oleh undang-undang secara tegas.
4.
Suatu sebab atau causa yang halal
Sahnya
causa dari suatu persetujuan ditentukan pada saat perjanjian dibuat. Perjanjian
tanpa causa yang halal adalah batal demi hukum, kecuali ditentukan ain oleh
undang-undang. Syarat pertama dan kedua menyangkut subyek, sedangkan syarat
ketiga dan keempat mengenai obyek. Terdapatnya cacat kehendak (keliru, paksaan,
penipuan) atau tidak cakap untuk membuat perikatan, mengenai subyek
mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan. Sementara apabila syarat ketiga dan
keempat mengenai obyek tidak terpenuhi, maka perjanjian batal demi hukum.
Misal:
- Dalam melakukan perjanjian pengadaan barang, antara TPK (Tim Pelaksana Kegiatan) dengan suplier, maka harus memenuhi unsur-unsur:
- TPK sepakat untuk membeli sejumlah barang dengan biaya tertentu dan supplier sepakat untuk menyuplai barang dengan pembayaran tersebut.
- Tidak ada unsur paksaan terhadap kedua belah pihak.
- TPK dan supplier telah dewasa, tidak dalam pengawasan atau karena perundangundangan, tidak dilarang untuk membuat perjanjian.
- Barang yang akan dibeli/disuplai jelas, apa, berapa dan bagaimana.
- Tujuan perjanjian jual beli tidak dimaksudkan untuk rekayasa atau untuk kejahatan tertentu (contoh: TPK dengan sengaja bersepakat dengan supplier untuk membuat kwitansi dimana nilai harga lebih besar dari harga sesungguhnya).
D. Saat
Lahirnya Perjanjian
Suatu perjanjian dilahirkan pada saat tercapainya
sepakat atau persetujuan antara kedua belah pihak mengenai hal-hal yang pokok
dari apa yang menjadi obyek perjanjian, Menurut azas konsensualitas. Sepakat
adalah suatu persesuaian paham dan kehendak antara dua pihak tersebut. Apa yang
dikehendaki oleh pihak yang satu adalah juga yang dikehendaki oleh pihak yang
lainnya, meskipun tidak sejurusan tetapi secara bertimbal balik kedua kehendak
itu bertemu satu sama lain.
Apabila kedua kehendak itu berselisih, tak dapatlah
dilahirkan suatu perjanjian. dalam suatu masyarakat kecil dan sederhana, dimana
kedua belah pihak itu berjumpa atau hadir sendiri dan pembicaraan diadakan secara
lisan, ukuran tersebut masih dapat dipakai, tetapi dalam suatu masyarakat yang
sudah ramai dan modern, ukuran tersebut tak dapat dipertahankan lagi.
Karena suatu perjanjian dilahirkan pada detik
tercapainya sepakat, maka perjanjian itu lahir pada detik diterimanya suatu
penawaran. Apabila seorang melakukan suatu penawaran, dan penawaran itu
diterima oleh orang lain secara tertulis, artinya orang lain ini menulis surat
bahwa ia menerima penawaran itu.
Persetujuan harus dilaksanakan
dengan itikad baik yaitu keinginan subyek hukum untuk berbuat sesuatu, kemudian
mereka mengadakan negosiasi dengan pihak lain, dan sudah barang tentu keinginan
itu sesuatu yang baik. Itikad baik yang sudah mendapat kesepakatan terdapat
dalam isi perjanjian untuk ditaati oleh kedua belah pihak sebagai suatu
peraturan bersama. Isi perjanjian ini disebut prestasi yang berupa penyerahan
suatu barang, melakukan suatu perbuatan, dan tidak melakukan suatu perbuatan.
Agar terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi 4 syarat,
Yaitu:
1.
Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri.
2.
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
3.
Suatu pokok persoalan tertentu.
4.
Suatu sebab yang tidak terlarang.
Perjanjian yang sudah lahir tidak
dapat ditarik kembali tanpa izin pihak lawan. Saat atau detik lahirnya perjanjian
adalah penting untuk diketahui dan ditetapkan, berhubung adakalanya terjadi
suatu perubahan undang-undang atau peraturan yang mempengaruhi nasib perjanjian
tersebut, misalnya dalam pelaksanaannya atau masalah beralihnya suatu risiko dalam
suatu peijanjian jual beli.
Perjanjian harus ada kata sepakat
kedua belah pihak karena perjanjian merupakan perbuatan hukum bersegi dua atau
jamak. Perjanjian adalah perbuatan-perbuatan yang untuk terjadinya disyaratkan
adanya kata sepakat antara dua orang atau lebih, jadi merupakan persetujuan.
Keharusan adanya kata sepakat dalam hukum perjanjian ini dikenal dengan asas
konsensualisme. asas ini adalah pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang
timbul karenanya sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kata sepakat.
Akan tetapi, apabila hukum
perjanjian tidak memenuhi unsur subjektif, misalnya salah satu pihak
berada dalam pengawasan dan tekanan pihak tertentu, maka perjanjian ini dapat
dibatalkan di hadapan hakim. Sehingga, perjanjian tersebut tidak akan mengikat
kedua belah pihak. Hukum perjanjian ini akan berlaku apabila masing-masing
pihak telah menyepakati isi perjanjian. Kemudian timbul pertanyaan, bagaimana
apabila salah satu pihak tidak melaksanakan perjanjian ini (wan prestasi)?
Terdapat langkah pasti yang bisa
mengatasi persoalan ini, yaitu pihak yang tidak melaksanakan perjanjian akan
dimintai tanggung jawabnya sebagai pihak yang telah lalai atau bahkan melanggar
perjanjian.
Pihak yang tidak
melaksanakan perjanjian diberlakukan hal sebagai berikut.
1.
Mengganti kerugian
yang diderita oleh pihak yang satunya;
2.
Materi
perjanjiannya dibatalkan oleh kedua belah pihak atau di hadapan hakim;
3.
Mendapatkan peralihan
resiko
4.
Membayar seluruh biaya
perkara apabila pihak yang merasa dirugikan mengajukannya ke muka
hakim.
Ada beberapa teori yang bisa digunakan
untuk menentukan saat lahirnya perjanjian yaitu:
a. Teori
Pernyataan (Uitings Theorie)
Menurut teori ini, perjanjian telah
ada/lahir pada saat atas suatu penawaran telah ditulis surat jawaban
penerimaan. Dengan kata lain perjanjian itu ada pada saat pihak lain menyatakan
penerimaan/akseptasinya.
b. Teori
Pengiriman (Verzending Theori).
Menurut teori ini saat pengiriman
jawaban akseptasi adalah saat lahirnya perjanjian. Tanggal cap pos dapat
dipakai sebagai patokan tanggal lahirnya perjanjian.
c. Teori
Pengetahuan (Vernemingstheorie).
Menurut teori ini saat lahirnya
perjanjian adalah pada saat jawaban akseptasi diketahui isinya oleh pihak yang
menawarkan.
d. Teori
penerimaan (Ontvangtheorie).
Menurut teori ini saat lahirnya kontrak
adalah pada saat diterimanya jawaban, tak peduli apakah surat tersebut dibuka
atau dibiarkan tidak dibuka. Yang pokok adalah saat surat tersebut sampai pada
alamat si penerima surat itulah yang dipakai sebagai patokan saat lahirnya
perjanjian.
E. Pembatalan dan Pelaksanaan Suatu
Perjanjian
·
Pembatalan Perjanjian
Dalam syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian telah
diterangkan bahwa, apabila suatu syarat obyektif tidak terpenuhi, maka
perjanjiannya adalah batal demi hukum ( null and void ). Dalam hal yang
demikian maka secara yuridis dari semula tidak ada suatu perjanjian dan tidak
ada pula suatu perikatan antara orang-orang yang bermaksud membuat perjanjian
itu.
Apabila, pada waktu pembuatan perjanjian, ada kekurangan
mengenai syarat yang subyektif, maka sebagaimana sudut kita lihat, perjanjian
itu bukannya batal demi hukum ,tetapi dapat dimintakan pembatalanya oleh salah
satu pihak. Pihak ini adalah : pihak yang tidak cakap menurut hukum ( yang
meminta : orangtua atau walinya, ataupun ia sendiri apabila ia sudah menjadi
cakap ), dan pihak yang memberikan perjanjian atau menyetujui itu secara tidak
bebas.
Persetujuan kedua belah pihak yang merupakan sepakat itu
harus diberikan secara bebas. Dalam hukum perjanjian ada tiga sebab yang
membuat perijinan tadi tidak bebas, yaitu :
1. Paksaan
2. Kekhilafan
3. Penipuan.
Perjanjian – perjanjian untuk mana ditetapkan seseuatu
formalitas atau bentuk cara tertentu itu sebagaimana sudah kita lihat, dinamakan
perjanjian formil. Apabila perjanjian yang demikian itu tidak memenuhi
formalitas yang ditetapkan oleh undang-undang , maka ia adalah batal demi
hukum.
Suatu perjanjian
dapat dibatalkan oleh salah satu pihak yang membuat perjanjian ataupun batal
demi hukum. Perjanjian yang dibatalkan oleh salah satu pihak biasanya terjadi
karena:
- Adanya suatu pelanggaran dan pelanggaran tersebut tidak diperbaiki dalam jangka waktu yang ditentukan atau tidak dapat diperbaiki.
- Pihak pertama melihat adanya kemungkinan pihak kedua mengalami kebangkrutan atau secara financial tidak dapat memenuhi kewajibannya.
- Terkait resolusi atau perintah pengadilan
- Terlibat hukum
- Tidak lagi memiliki lisensi, kecakapan, atau wewenang dalam melaksanakan perjanjian.
- Perlaksanaan Suatu Perjanjian
Pelaksanaan
perjanjian harus harus megindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan (Pasal
1338 ayat (3) KUHPerdata). Salah satunya untuk memperoleh hak milik ialah jual
beli. Pelaksanaan perjanjian ialah pemenuhan hak dan kewajiban yang telah
diperjanjikan oleh pihak-pihak supaya perjanjian itu mencapai tujuannya. Jadi
perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa. Perjanjian yang telah
dibuat secara sah mengikat pihak-pihak, perjanjian tersebut tidak boleh diatur
atau dibatalkan secara sepihak saja. Perjanjian adalah suatu perbuatan dimana kedua belah pihak sepakat untuk
saling mengikatkan diri satu sama lain.
Salah
satu pihak tidak memiliki hak memilih yang berarti terhadap beberapa atau
seluruh persyaratan kontrak. Persyaratan kontrak biasanya ditetapkan oleh pihak
yang memiliki kedudukan kontraktual yang lebih kuat dihadapkan pada
harapan-harapan pihak yang berkedudukan lebih lemah.
Pelaksanaannya:
- Dibuat agar suatu industri atau bisnis dapat melayani transaksi tertentu secara efisien, khususnya untuk digunakan dalam akti- vitas transaksional yang diperkirakan akan berfrekuensi tinggi;
- Dimaksudkan untuk memberikan pelayanan yang cepat bagi penggunanya, tetapi juga mampu memberikan kepastian hukum bagi pembuatnya;
- Demi pelayanan cepat, ditetapkan terlebih dahulu secara tertulis dan dipersiapkan untuk dapat digandakan dan ditawarkan dalam jumlah sesuai kebutuhan;
- Isi persyaratan distandarisir atau dirumuskan terlebih dahulu secara sepihak;
- Dibuat untuk ditawarkan kepada publik secara massal.
Sumber:
Subekti, R, 1984, Hukum Perjanjian, Jakarta,
Intermasa.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23887/3/Chapter%20II.pdf
http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/aspek_hukum_dalam_bisnis/bab4-hukum_perikatan_dan_perjanjian.pdf
http://baa.univpgri-palembang.ac.id/e-jurnal/index.php/ripteksi/article/viewFile/7/7
http://www.pnpm-perdesaan.or.id/downloads/Mengenal%20Perjanjian.pdf
0 komentar on "Aspek Hukum dalam Ekonomi (Hukum Perjanjian)"
Posting Komentar