Rabu, 24 April 2013

Aspek Hukum dalam Ekonomi (Hukum Perjanjian)

Diposting oleh Mutia Azila di 17.45
Hukum Perjanjian
Nama  : Mutia Azila
Kelas   : 2EB10
NPM   :25211046

Hukum Perjanjian:
A.    Standar Kontrak
B.     Macam-Macam Perjanjian
C.    Syarat Sahnya Perjanjian
D.    Saat Lahirnya Perjanjian
E.     Pembatalan dan Pelaksanaan Suatu Perjanjian

A.    Standar Kontrak
Dalam bisnis, kontrak merupakan bentuk perjanjian yang dibuat secara tertulis yang didasarkan kepada kebutuhan bisnis. Kontrak dalam pengertian yang lebih luas kontrak sering dinamakan juga dengan istilah perjanjian.
Kontrak adalah suatu perjanjian (tertulis) antara dua atau lebih orang (pihak) yang menciptakan hak dan kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan hal tertentu.
Dalam hukum kontrak sendiri terdapat asas yang dinamakan kebebasan berkontrak. Menurut Pasal 1338 Ayat (1) KUH Perdata menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dari bunyi pasal tersebut sangat jelas terkandung asas :
  1. Konsensualisme, adalah perjanjian itu telah terjadi jika telah ada konsensus antara pihak-pihak yang mengadakan kontrak;
  2.  Kebebasan berkontrak, artinya seseorang bebas untuk mengadakan perjanjian, bebas mengenai apa yang diperjanjikan, bebas pula menentukan bentuk kontraknya.
  3. Pacta Sun Servanda, artinya kontrak itu merupakan Undang-undang bagi para pihak yang membuatnya (mengikat)
  4. Asas kebebasan berkontrak adalah refleksi dari perkembangan paham pasar bebas yang dipelopori oleh Adam Smith. Dalam perkembangannya ternyata kebebasan berkontrak dapat mendatangkan ketidakadilan karena prinsip ini hanya dapat mencapai tujuannya, yaitu mendatangkan kesejahteraan seoptimal mungkin, bila para pihak memiliki bargaining power yang seimbang
Kebebasan Berkontrak tersebut seringkali didapati salah satu pihak yang menentukan syarat didalam suatu kontrak, sedangkan pihak lain hanya dapat menerima atau menolak (misalnya dalam kontrak standar: syarat umum dari bank, syarat penyerahan dari produsen, dan sebagainya). Tidak dipungkiri bahwa kegiatan bisnis tersebut menjadi latar belakang tumbuhnya perjanjian baku. Menurut Gras dan Pitlo, latar belakang lahirnya perjanjian baku antara lain merupakan akibat dari perubahan susunan masyarakat
Standar kontrak merupakan perjanjian yang telah ditentukan dan dituangkan dalam bentuk formulir. Kontrak ini telah ditentukan secara sepihak oleh salah satu pihak, terutama pihak ekonomi kuat terhadap ekonomi lemah. Kontrak baku menurut Munir Fuadi adalah suatu kontrak tertulis yang dibuat oleh hanya salah satu pihak dalam kontrak tersebut, bahkan seringkali tersebut sudah tercetak dalam bentuk-bentuk formulir tertentu oleh salah satu pihak, yang dalam hal ini ketika kontrak tersebut ditandatangani umumnya para pihak hanya mengisikan data-data informatif tertentu saja dengan sedikit atau tanpa perubahan dalam klausul-klausulnya dimana para pihak lain dalam kontrak tersebut tidak mempunyai kesempatan atau hanya sedikit kesempatan untuk menegosiasi atau mengubah klausul-kalusul yang sudah dibuat oleh salah satu pihak tersebut, sehingga biasanya kontrak baku sangat berat sebelah.
Sedangkan menurut Pareto, suatu transaksi atau aturan adalah sah jika membuat keadaan seseorang menjadi lebih baik dengan tidak seorangpun dibuat menjadi lebih buruk, sedangkan menurut ukuran Kaldor-Hicks, suatu transaksi atau aturan sah itu adalah efisien jika memberikan akibat bagi suatu keuntungan sosial. Maksudnya adalah membuat keadan seseorang menjadi lebih baik atau mengganti kerugian dalam keadaan yang memeprburuk.

Unsur-Unsur perjanjian:
1.      Adanya pihak-pihak.
Pihak-pihak yang ada di dalam perjanjian ini disebut sebagai subyek perjanjian. Subyek perjanjian dapat berupa manusia pribadi atau juga badan hukum. Subyek perjanjian harus mampu atau memiliki wewenang dalam melakukan perbuatan hukum seperti yang ditetapkan dalam undang-undang.
2.      Adanya persetujuan antara pihak-pihak.
Persetujuan di sini bersifat tetap, dalam arti bukan baru dalam tahap berunding. Perundingan itu sendiri adalah merupakan tindakan-tindakan pendahuluan untuk menuju kepada adanya persetujuan.
3.      Adanya tujuan yang akan dicapai.
Tujuan mengadakan perjanjian terutama guna memenuhi kebutuhan pihak-pihak dan kebutuhan tersebut hanya dapat dipenuhi jika mengadakan perjanjian dengan pihak lain.
4.      Adanya prestasi yang akan dilangsungkan.
Bila telah ada persetujuan, maka dengan sendirinya akan timbul suatu kewajiban untuk melaksanakannya.
5.      Adanya bentuk tertentu.
Dalam suatu perjanjian bentuk itu sangat penting, karena ada ketentuan undang-undang bahwa hanya dengan bentuk tertentu maka perjanjian mempunyai kekuatan mengikat sebagai bukti.
6.      Adanya syarat tertentu.
Mengenai syarat tertentu ini sebenarnya sebagai isi dari perjanjian, karena dengan syarat-syarat itulah dapat diketahui adanya hak dan kewajiban dari pihak-pihak.

B.     Macam-Macam Perjanjian

Menurut Mariam Darus Badrulzaman, perjanjian dapat dibedakan menurut berbagai cara. Pembedaan tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Perjanjian timbal balik.
Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak. Misalnya perjanjian jual-beli.
2.      Perjanjian cuma-cuma dan perjanjian atas beban.
Perjanjian dengan cuma-cuma adalah perjanjian yang memberikan keuntungan bagi salah satu pihak saja. Misalnya: hibah.
Perjanjian atas beban adalah perjanjian di mana terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontrak prestasi dari pihak lain, dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum.
3.      Perjanjian khusus (benoend) dan perjanjian umum (onbenoend).
Perjanjian khusus adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri. Maksudnya ialah bahwa perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang, berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari-hari. Perjanjian khusus terdapat dalam Bab V s/d XVIII KUH Perdata. Di luar perjanjian khusus tumbuh perjanjian umum yaitu perjanjian-perjanjian yang tdiak diatur di dalam KUH Perdata, tetapi terdapat di dalam masyarakat. Jumlah perjanjian ini tak terbatas. Lahirnya perjanjian ini di dalam praktek adalah berdasarkan asas kebebasan mengadakan perjanjian atau partij otonomi yang berlaku di dalam Hukum Perjanjian. Salah satu contoh dari perjanjian umum adalah perjanjian sewa beli.
4.      Perjanjian kebendaan (zakelijk) dan perjanjian obligatoir
Perjanjian kebendaan adalah perjanjian dengan mana seorang menyerahkan haknya atas sesuatu, kepada pihak lain. Sedangkan perjanjian obligatoir adalah perjanjian dimana pihak-pihak mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan kepada pihak lain (perjanjian yang menimbulkan perikatan)
5.      Perjanjian konsensuil dan perjanjian riil
Perjanjian konsensuil adalah perjanjian di mana di antara kedua: belah pihak telah tercapai persesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan-perikatan.
6.      Perjanjian-Perjanjian yang istimewa sifatnya.
  • Perjanjian liberatoir: yaitu perjanjian di mana para pihak membebaskan diri dari kewajiban yang ada, misalnya pembebasan hutang (kwijtschelding) pasal 1438 KUH Perdata;
  • Perjanjian pembuktian (bewijsovereenkomst); yaitu perjanjian dimana para pihak menentukan pembuktian apakah yang berlaku di antara mereka.
  • Perjanjian untung-untungan: misalnya prjanjian asuransi, pasal 1774 KUH Perdata.
  • Perjanjian publik: yaitu perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum publik, karena salah satu pihak bertindak sebagai penguasa (pemerintah), misalnya perjanjian ikatan dinas.

C.    Syarat sahnya Perjanjian
Agar suatu Perjanjian dapat menjadi sah dan mengikat para pihak, perjanjian harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1320 BW yaitu :
1.      Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Kata “sepakat” tidak boleh disebabkan adanya kekhilafan mengenai hakekat barang yang menjadi pokok persetujuan atau kekhilafan mengenai diri pihak lawannya dalam persetujuan yang dibuat terutama mengingat dirinya orang tersebut; adanya paksaan dimana seseorang melakukan perbuatan karena takut ancaman (Pasal 1324 BW); adanya penipuan yang tidak hanya mengenai kebohongan tetapi juga adanya tipu muslihat (Pasal 1328 BW). Terhadap perjanjian yang dibuat atas dasar “sepakat” berdasarkan alasan-alasan tersebut, dapat diajukan pembatalan.
2.      Cakap untuk membuat perikatan;
Para pihak mampu membuat suatu perjanjian. Kata mampu dalam hal ini adalah bahwa para pihak telah dewasa, tidak dibawah pengawasan karena prilaku yang tidak stabil dan bukan orang-orang yang dalam undang-undang dilarang membuat suatu perjanjian.
Pasal 1330 BW menentukan yang tidak cakap untuk membuat perikatan :
a.       Orang-orang yang belum dewasa
b.      Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan
c.       Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undangundang,
dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Namun berdasarkan fatwa Mahkamah Agung, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No.3/1963 tanggal 5 September 1963, orang-orang perempuan tidak lagi digolongkan sebagai yang tidak cakap. Mereka berwenang melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin suaminya.
Akibat dari perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak cakap adalah batal demi hukum (Pasal 1446 BW).
3.      Suatu hal tertentu
Perjanjian harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan. Jika tidak, maka perjanjian itu batal demi hukum. Pasal 1332 BW menentukan hanya barangbarang yang dapat diperdagangkan yang dapat menjadi obyek perjanjian, dan berdasarkan Pasal 1334 BW barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi obyek perjanjian kecuali jika dilarang oleh undang-undang secara tegas.
4.      Suatu sebab atau causa yang halal
Sahnya causa dari suatu persetujuan ditentukan pada saat perjanjian dibuat. Perjanjian tanpa causa yang halal adalah batal demi hukum, kecuali ditentukan ain oleh undang-undang. Syarat pertama dan kedua menyangkut subyek, sedangkan syarat ketiga dan keempat mengenai obyek. Terdapatnya cacat kehendak (keliru, paksaan, penipuan) atau tidak cakap untuk membuat perikatan, mengenai subyek mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan. Sementara apabila syarat ketiga dan keempat mengenai obyek tidak terpenuhi, maka perjanjian batal demi hukum.
Misal:
  • Dalam melakukan perjanjian pengadaan barang, antara TPK (Tim Pelaksana Kegiatan) dengan suplier, maka harus memenuhi unsur-unsur:
  • TPK sepakat untuk membeli sejumlah barang dengan biaya tertentu dan supplier sepakat untuk menyuplai barang dengan pembayaran tersebut.
  •  Tidak ada unsur paksaan terhadap kedua belah pihak.
  • TPK dan supplier telah dewasa, tidak dalam pengawasan atau karena perundangundangan, tidak dilarang untuk membuat perjanjian.
  •  Barang yang akan dibeli/disuplai jelas, apa, berapa dan bagaimana.
  • Tujuan perjanjian jual beli tidak dimaksudkan untuk rekayasa atau untuk kejahatan tertentu (contoh: TPK dengan sengaja bersepakat dengan supplier untuk membuat kwitansi dimana nilai harga lebih besar dari harga sesungguhnya).

D.    Saat Lahirnya Perjanjian
Suatu perjanjian dilahirkan pada saat tercapainya sepakat atau persetujuan antara kedua belah pihak mengenai hal-hal yang pokok dari apa yang menjadi obyek perjanjian, Menurut azas konsensualitas. Sepakat adalah suatu persesuaian paham dan kehendak antara dua pihak tersebut. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu adalah juga yang dikehendaki oleh pihak yang lainnya, meskipun tidak sejurusan tetapi secara bertimbal balik kedua kehendak itu bertemu satu sama lain.
Apabila kedua kehendak itu berselisih, tak dapatlah dilahirkan suatu perjanjian. dalam suatu masyarakat kecil dan sederhana, dimana kedua belah pihak itu berjumpa atau hadir sendiri dan pembicaraan diadakan secara lisan, ukuran tersebut masih dapat dipakai, tetapi dalam suatu masyarakat yang sudah ramai dan modern, ukuran tersebut tak dapat dipertahankan lagi.
Karena suatu perjanjian dilahirkan pada detik tercapainya sepakat, maka perjanjian itu lahir pada detik diterimanya suatu penawaran. Apabila seorang melakukan suatu penawaran, dan penawaran itu diterima oleh orang lain secara tertulis, artinya orang lain ini menulis surat bahwa ia menerima penawaran itu.
Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik yaitu keinginan subyek hukum untuk berbuat sesuatu, kemudian mereka mengadakan negosiasi dengan pihak lain, dan sudah barang tentu keinginan itu sesuatu yang baik. Itikad baik yang sudah mendapat kesepakatan terdapat dalam isi perjanjian untuk ditaati oleh kedua belah pihak sebagai suatu peraturan bersama. Isi perjanjian ini disebut prestasi yang berupa penyerahan suatu barang, melakukan suatu perbuatan, dan tidak melakukan suatu perbuatan.
Agar terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi 4 syarat, Yaitu:
1.      Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri.
2.      Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
3.      Suatu pokok persoalan tertentu.
4.      Suatu sebab yang tidak terlarang.
Perjanjian yang sudah lahir tidak dapat ditarik kembali tanpa izin pihak lawan. Saat atau detik lahirnya perjanjian adalah penting untuk diketahui dan ditetapkan, berhubung adakalanya terjadi suatu perubahan undang-undang atau peraturan yang mempengaruhi nasib perjanjian tersebut, misalnya dalam pelaksanaannya atau masalah beralihnya suatu risiko dalam suatu peijanjian jual beli.
Perjanjian harus ada kata sepakat kedua belah pihak karena perjanjian merupakan perbuatan hukum bersegi dua atau jamak. Perjanjian adalah perbuatan-perbuatan yang untuk terjadinya disyaratkan adanya kata sepakat antara dua orang atau lebih, jadi merupakan persetujuan. Keharusan adanya kata sepakat dalam hukum perjanjian ini dikenal dengan asas konsensualisme. asas ini adalah pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kata sepakat.
Akan tetapi, apabila hukum perjanjian tidak memenuhi unsur subjektif, misalnya salah satu pihak berada dalam pengawasan dan tekanan pihak tertentu, maka perjanjian ini dapat dibatalkan di hadapan hakim. Sehingga, perjanjian tersebut tidak akan mengikat kedua belah pihak. Hukum perjanjian ini akan berlaku apabila masing-masing pihak telah menyepakati isi perjanjian. Kemudian timbul pertanyaan, bagaimana apabila salah satu pihak tidak melaksanakan perjanjian ini (wan prestasi)?
Terdapat langkah pasti yang bisa mengatasi persoalan ini, yaitu pihak yang tidak melaksanakan perjanjian akan dimintai tanggung jawabnya sebagai pihak yang telah lalai atau bahkan melanggar perjanjian.
Pihak yang tidak melaksanakan perjanjian diberlakukan hal sebagai berikut.
1.      Mengganti kerugian yang diderita oleh pihak yang satunya;
2.      Materi perjanjiannya dibatalkan oleh kedua belah pihak atau di hadapan hakim;
3.      Mendapatkan peralihan resiko
4.      Membayar seluruh biaya perkara apabila pihak yang merasa dirugikan mengajukannya ke muka hakim.

Ada beberapa teori yang bisa digunakan untuk menentukan saat lahirnya perjanjian yaitu:
a.       Teori Pernyataan (Uitings Theorie)
Menurut teori ini, perjanjian telah ada/lahir pada saat atas suatu penawaran telah ditulis surat jawaban penerimaan. Dengan kata lain perjanjian itu ada pada saat pihak lain menyatakan penerimaan/akseptasinya.
b.      Teori Pengiriman (Verzending Theori).
Menurut teori ini saat pengiriman jawaban akseptasi adalah saat lahirnya perjanjian. Tanggal cap pos dapat dipakai sebagai patokan tanggal lahirnya perjanjian.
c.       Teori Pengetahuan (Vernemingstheorie).
Menurut teori ini saat lahirnya perjanjian adalah pada saat jawaban akseptasi diketahui isinya oleh pihak yang menawarkan.
d.      Teori penerimaan (Ontvangtheorie).
Menurut teori ini saat lahirnya kontrak adalah pada saat diterimanya jawaban, tak peduli apakah surat tersebut dibuka atau dibiarkan tidak dibuka. Yang pokok adalah saat surat tersebut sampai pada alamat si penerima surat itulah yang dipakai sebagai patokan saat lahirnya perjanjian.

E.     Pembatalan dan Pelaksanaan Suatu Perjanjian
·         Pembatalan Perjanjian
Dalam syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian telah diterangkan bahwa, apabila suatu syarat obyektif tidak terpenuhi, maka perjanjiannya adalah batal demi hukum ( null and void ). Dalam hal yang demikian maka secara yuridis dari semula tidak ada suatu perjanjian dan tidak ada pula suatu perikatan antara orang-orang yang bermaksud membuat perjanjian itu.
Apabila, pada waktu pembuatan perjanjian, ada kekurangan mengenai syarat yang subyektif, maka sebagaimana sudut kita lihat, perjanjian itu bukannya batal demi hukum ,tetapi dapat dimintakan pembatalanya oleh salah satu pihak. Pihak ini adalah : pihak yang tidak cakap menurut hukum ( yang meminta : orangtua atau walinya, ataupun ia sendiri apabila ia sudah menjadi cakap ), dan pihak yang memberikan perjanjian atau menyetujui itu secara tidak bebas.
Persetujuan kedua belah pihak yang merupakan sepakat itu harus diberikan secara bebas. Dalam hukum perjanjian ada tiga sebab yang membuat perijinan tadi tidak bebas, yaitu :
1.      Paksaan
2.      Kekhilafan
3.      Penipuan.
Perjanjian – perjanjian untuk mana ditetapkan seseuatu formalitas atau bentuk cara tertentu itu sebagaimana sudah kita lihat, dinamakan perjanjian formil. Apabila perjanjian yang demikian itu tidak memenuhi formalitas yang ditetapkan oleh undang-undang , maka ia adalah batal demi hukum.
Suatu perjanjian dapat dibatalkan oleh salah satu pihak yang membuat perjanjian ataupun batal demi hukum. Perjanjian yang dibatalkan oleh salah satu pihak biasanya terjadi karena:
  1. Adanya suatu pelanggaran dan pelanggaran tersebut tidak diperbaiki dalam jangka waktu yang ditentukan atau tidak dapat diperbaiki.
  2. Pihak pertama melihat adanya kemungkinan pihak kedua mengalami kebangkrutan atau secara financial tidak dapat memenuhi kewajibannya.
  3. Terkait resolusi atau perintah pengadilan
  4. Terlibat hukum
  5. Tidak lagi memiliki lisensi, kecakapan, atau wewenang dalam melaksanakan perjanjian.
  • Perlaksanaan Suatu Perjanjian
      Pelaksanaan perjanjian harus harus megindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan (Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata). Salah satunya untuk memperoleh hak milik ialah jual beli. Pelaksanaan perjanjian ialah pemenuhan hak dan kewajiban yang telah diperjanjikan oleh pihak-pihak supaya perjanjian itu mencapai tujuannya. Jadi perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa. Perjanjian yang telah dibuat secara sah mengikat pihak-pihak, perjanjian tersebut tidak boleh diatur atau dibatalkan secara sepihak saja. Perjanjian adalah suatu perbuatan dimana kedua belah pihak sepakat untuk saling mengikatkan diri satu sama lain.
      Salah satu pihak tidak memiliki hak memilih yang berarti terhadap beberapa atau seluruh persyaratan kontrak. Persyaratan kontrak biasanya ditetapkan oleh pihak yang memiliki kedudukan kontraktual yang lebih kuat dihadapkan pada harapan-harapan pihak yang berkedudukan lebih lemah.
Pelaksanaannya:
  1. Dibuat agar suatu industri atau bisnis dapat melayani transaksi tertentu secara efisien, khususnya untuk digunakan dalam akti- vitas transaksional yang diperkirakan akan berfrekuensi tinggi;
  2. Dimaksudkan untuk memberikan pelayanan yang cepat bagi penggunanya, tetapi juga mampu memberikan kepastian hukum bagi pembuatnya;
  3. Demi pelayanan cepat, ditetapkan terlebih dahulu secara tertulis dan dipersiapkan untuk dapat digandakan dan ditawarkan dalam jumlah sesuai kebutuhan;
  4. Isi persyaratan distandarisir atau dirumuskan terlebih dahulu secara sepihak;
  5.  Dibuat untuk ditawarkan kepada publik secara massal.

Sumber:
Subekti, R, 1984, Hukum Perjanjian, Jakarta, Intermasa.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23887/3/Chapter%20II.pdf
http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/aspek_hukum_dalam_bisnis/bab4-hukum_perikatan_dan_perjanjian.pdf
http://baa.univpgri-palembang.ac.id/e-jurnal/index.php/ripteksi/article/viewFile/7/7
http://www.pnpm-perdesaan.or.id/downloads/Mengenal%20Perjanjian.pdf

0 komentar on "Aspek Hukum dalam Ekonomi (Hukum Perjanjian)"

Posting Komentar

 

' Mutia Azila Sweet Cupcake Designed by Ipietoon