REVIEW
II
PERINGKAT
PROPINSI DALAM MEMBANGUN EKONOMI KOPERASI
ANALISIS
BERDASARKAN INDEKS PEKR
OLEH
JOHNNY
W. SITUMORANG
http://www.smecda.com/kajian/files/Jurnal_3_2008/04_Johnny_W.pdf
III.
HASIL ANALISIS
3.1.
Rating dan Peringkat Propinsi
Sebagaimana terlihat dalam metode analisis, IPEK
merupakan ukuran rating propinsi dalam performa ekonomi koperasi. Tabel 1
menampilkan hasil perhitungan IPEK sesuai dengan persamaan (3). Pada tahun 2006,
sebaran rating propinsi sangat beragam. Rating tertinggi adalah mencapai 5.6086
dan terrendah 0.1224. Rating 5.6086 menunjukkan bahwa performa ekonomi koperasi
regional mencapai 5.61 kali lebih tinggi daripada kemampuan ekonomi
regionalnya. Dengan kata lain, setiap 1% pangsa ekonomi regional terhadap
nasional akan menciptakan 5.61% ekonomi koperasi regional. Rating 0.1224
berarti setiap 1% pangsa ekonomi regional hanya menciptakan 0.1224% ekonomi
koperasi atau 87.76% di bawah kapasitas ekonomi regionalnya.
Tabel
1. Rating dan Peringkat Propinsi Tahun 2006 berdasarkan IPEK
Pada Tabel 1 tersebut terlihat pula, yang mampu
mencapai IPEK>1 hanya 12 propinsi atau 36.4% dari seluruh propinsi,
selebihnya 64.6% di bawah nilai satu (IPEK<1). Dengan kata lain hanya
sebagian kecil dari propinsi yang mampu menunjukkan performa baik dalam
pengembangan ekonomi koperasi. Hal ini sebenarnya memprihatinkan mengingat
rencana strategi setiap kepala daerah selalu menempatkan koperasi sebagai obyek
pembangunan daerah yang terpenting. Data tersebut di atas juga mengindikasikan
bahwa antara ucapan dan tertulis yang menyatakan komit terhadap pembangunan
koperasi sangat jauh dari kenyataan. Berarti, rencana strategis kepala daerah
yang memuat pembangunan koperasi sebagai salah satu target utama, cenderung
hanya retorika politik agar memperoleh simpati rakyat ketika kampanye pemilihan
kepala daerah.
Hasil dari analisis ini memperlihatkan suatu hal
yang tidak disangka sebelumnya secara radikal. Justru rating tertinggi dicapai
oleh Propinsi Gorontalo (5.6086) dan terrendah Propinsi Kepulauan Riau
(0.1224). Rating tinggi dicapai oleh 12 propinsi, yakni Gorontalo, Bali
(3.5734), Jawa Timur (2.3627), Maluku (2.3113), DI Yogyakarta (1.7472), Jawa
Tengah (1.6723), NTB (1.3200), Sumatera Selatan (1.2468), Sulawesi Utara
(1.1426), Sulawesi Selatan (1.0870), Lampung (1.0632), dan Sulawesi Tenggara
(10239). Dengan rating tersebut, maka secara berurutan peringkat-1 diduduki
oleh Propinsi Gorontalo, dan seterusnya sesuai dengan rating di atas. Hal yang
mengejutkan lagi adalah propinsi yang selama ini diketahui selalu menunjukkan
jumlah koperasi yang banyak ternyata tidak selamanya mampu menduduki posisi
tertinggi dalam mengembangkan ekonomi koperasi. Hal ini terlihat misalnya Jawa
Barat, DKI Jakarta, Sumatera Utara, Kalimantan Timur, dan Riau. Bahkan posisi
DKI Jakarta terpuruk pada urutan ke-21
Performa pengembangan ekonomi koperasi berdasarkan
pulau juga menunjukkan pola yang sama dengan propinsi. Sedangkan berdasarkan
kawasan (KBI dan KTI) sejalan dengan kondisi obyektifnya. Berdasarkan pulau,
rating tertinggi mencapai 2.118 dan terrendah 0.1530. Tedapat empat dari tujuh
pulau yang mencapai rating IPEK>1, dan tiga pulau di bawah satu (IPEK<1).
Peringkat berdasarkan pulau dalam pengembangan ekonomi koperasi dengan rating
di atas satu adalah secara berturutan adalah Bali & Nusa Tenggara (1),
Maluku (2), Jawa (3), Sulawesi (4). Sedangkan IPEK<1 adalah Sumatera (5),
Kalimantan (6), dan Papua (7). Posisi Pulau Jawa dan Sumatera yang hanya pada
peringkat-3 dan peringkat-5 memang patut dipertanyakan. Kelebihan kemampuan dan
aksesibilitas Pulau Jawa dan Sumatera ternyata tidak menjamin posisinya
tertinggi.
Kalau dilihat lebih lanjut, perbedaan performa
kawasan antara KBI dan KTI juga terlihat. Rating KBI di atas nilai satu dan KTI
di bawah nilai satu. Namun perbedaan ratingnya tidak terlalu jauh. KBI masih
menjadi unggulan dalam pengembangan ekonomi koperasi. Hal ini dapat dimengerti
mengingat posisi geopolitik dan geografi KBI yang jauh lebih baik daripada KTI.
Pencapaian ekonomi koperasi di KBI hanya 16.5% di atas kemampuan ekonomi
regionalnya. Sementara di KTI ada kelebihan kapasitas sebesar 41.39% dalam
upaya mengembangkan ekonomi koperasi.
3.2 Ukuran
Ekonomi Regional
Sejauh mana kemampuan ekonomi relatif
regional/propinsi terhadap nasional merupakan ukuran ekonomi regional atau
kapasitas dari propinsi tersebut dalam bidang ekonomi. Kapasitas itu diukur
berdasarkan PDRB dan PDB yang biasa digunakan untuk mengukur perekonomian.
Sepanjang tahun 2001-2005, PDB Indonesia mencapai rata-rata Rp1921.96 triliun
per tahun. Selama kurun waktu tersebut, kontribusi PDRB terhadap PDB tertinggi
adalah Propinsi DKI Jakarta, mencapai 15.7-18.4% atau rata-rata 16.6% per
tahun, menyusul Jawa Timur 13.9- 15.2% atau rata-rata 15% per tahun, dan Jawa
Barat 13-14.9% atau rata-rata 13.6%, dan terrendah adalah Propinsi Gorontalo,
sebesar rata-rata 0.12%. Propinsi-propinsi di Jawa, kecuali D.I .Yogyakarta dan
Banten, termasuk penyumbang pendapatan terbesar secara nasional.
Pada tahun 2006, PDB Indonesia telah mencapai
Rp3339.48 triliun. Kontribusi ekonomi regional terhadap PDB tertinggi adalah
0.1502 atau 15.02% dari PDB dan terrendah adalah 0.0007 atau hanya 0.07% dari
PDB. Kontribusi ekonomi regional rata-rata adalah 0.0303 atau 3.03%. Oleh
karena itu kontribusi di atas 3.03% telah menunjukkan yang tinggi dalam
perekonomian. Pada Grafik 1 terlihat DKI Jakarta adalah propinsi yang mempunyai
kapasitas ekonomi regional tertinggi dengan UER sebesar 0.1502 dan Gorontalo
yang terendah, sebesar 0.0007. Propinsi yang mempunyai kapasitas ekonomi
regional yang tinggi hanya sebanyak 7 (tujuh), yakni secara berturutan.
DKI Yakarta (1), Jawa Timur (2), Jawa Barat (3),
Jawa Tengah (4), Kalimantan Timur (5), Riau (6), dan Sumatera Utara (7),
selebihnya rendah dan sangat rendah. Kelompok propinsi terrendah kapasitas
ekonomi regional sebanyak 14 propinsi dan Maluku, Sulawesi Barat, Maluku Utara,
dan Gorontolo merupakan kelompok paling rendah. Posisi ekonomi propinsi ini
sejalan dengan gambaran perbedaan kapasitas kawasan antara KBI dan KTI dimana
kontribusi ekonomi KBI mencapai 77.8% terhadap nasional.
Memperhatikan kapasitas regional pada grafik 1,
semestinya propinsi yang memiliki kapasitas tinggi dalam perekonomian akan
menunjukkan performa ekonomi koperasi yang juga harus tinggi. Misalnya, dengan
UER DKI Jakarta 0.1502, Jatim 0.1419, Jabar 0.1418, dan Jateng 0.0844 maka
ukuran ekonomi koperasi (cooperative economic size) di masing-masing
propinsi itu semestinya akan mencapai minimal angka-angka tersebut. Namur
kenyataannya berbeda, hal tersebut sangat tergantung pada strategi dan upaya
propinsi menggerakkan sumberdaya ekonomi koperasi di wilayahnya. Kalau propinsi
tersebut mampu menggerakkan sumberdaya koperasi melebihi UER-nya maka propinsi
tersebut dinyatakan bekerja secara penuh memanfaatkan kapasitas ekonomi
regionalnya. Sebaliknya, kalau propinsi tersebut tidak sanggup menggerakkan
sumberdayanya maka performa ekonomi koperasi regional akan rendah. Artinya,
propinsi tidak
mampu
menggunakan kapasitas ekonominya dengan baik untuk memajukan koperasi sebagai
wujud ekonomi rakyat.
Dari tinjauan kapasitas ekonomi berdasarkan pulau
besar di Indonesia, yang juga terungkap dalam riset ini. Propinsi-propinsi yang
berada di Pulau Jawa dan Sumatera mendominasi perekonomian nasional karena
lebih dari 75% kapasitas nasional merupakan porsi Jawa dan Sumatera. Pada
Grafik 2 terlihat porsi Pulau Jawa saja mencapai lebih dari separuh nasional,
yakni 55.6%, menyusul wilayah Pulau Sumatera mencapai lebih dari 20%. Sisanya,
sebesar 23%, dibagi oleh wilayah di Kalimantan, Sulawesi, Bali dan Nusa
Tenggara, Papua, dan Maluku. Hal ini menunjukkan kapasitas ekonomi
propinsi-propinsi di Jawa dan Sumatera jauh lebih besar daripada propinsi di
luar kedua pulau tersebut. Dari sisi kawasan, regional economic size KBI
juga sangat tinggi, mencapai 77.9%, sedangkan sisanya kapasitas KTI hanya
sekitar 15.7%. Pola perekonomian ini menunjukkan disparitas yang sangat tinggi
tidak hanya dalam satu pulau, antar pulau, juga antar kawasan. Artinya,
kemampuan ekonomi Jawa dan Bali dan propinsi di KBI jauh lebih tinggi daripada
lainnya.
Dari gambaran mengenai kapasitas di atas,
memunculkan pertanyaan menyangkut kemampuan mengembangkan ekonomi atau bisnis
koperasi secara regional. Apakah harapan semestinya performa ekonomi koperasi
yang jauh lebih baik di propinsi yang tinggi kapasitas ekonomi regionalnya,
propinsi di pulau-pulau yang tinggi kapasitas ekonominya, dan propinsi di KBI
yang tinggi kapasitas ekonominya terjadi dengan sendirinya? Hal itu akan
terlihat ketika ukuran ekonomi koperasi regional-nya dapat ditampilkan,
sebagaimana uraian pada bab berikut.
3.3 Ukuran Ekonomi Koperasi Regional
3.3 Ukuran Ekonomi Koperasi Regional
Gambaran mengenai kemampuan propinsi mengembangkan
ekonomi koperasi terlihat dari ukuran ekonomi koperasi regional (UEKR). Dimensi
ini menunjukkan sejauhmana propinsi memberikan kontribusi terhadap ekonomi koperasi
secara nasional. Indikator ini juga mencerminkan kapasitas propinsi dalam ekonomi
koperasi. Pada Grafik 3 memperlihatkan bagaimana distribusi ekonomi koperasi
menurut propinsi. Nilai UEKR tertinggi mencapai 0.3352 dan terendah sebesar
0.0002. Sama dengan ukuran ekonomi regional, nilai rata-rata adalah 0.0302.
Sehingga propinsi yang memperoleh angka UEKR di atas 0.0302 adalah kategori
tinggi ukuran ekonomi koperasinya. Dari semua propinsi, hanya 6 propinsi atau
18.2% dari seluruh propinsi yang memperoleh UEKR di atas 0.03, yakni secara
berurutan Jawa Timur (0.3352), Jawa Barat (0.1414), Jawa Tengah (0.1412), DKI
Jakarta (0.0780), dan Bali (0.0400). Kelima propinsi ini memberikan sumbangan
terhadap ekonomi koperasi secara nasional mencapai 73.58%, sisanya merupakan
kontribusi 28 propinsi lainnya. Posisi propinsi ini ditinjau dari UEKR sesuai
dengan kondisi sumberdaya dan aksesibilitas daerah tersebut sebagai pusat
ekonomi Indonesia
Tinjauan dari sisi pulau, pada tahun 2006, koperasi
di Pulau Jawa mendominasi perekonomian koperasi dengan kontribusi terbesar.
Pada Grafik 4 terlihat ukuran ekonomi koperasi di Jawa mencapai angka 0.7530.
Nilai UEKR rata-rata adalah 0.1429, sehingga setiap wilayah yang memperoleh
UEKR di atas 0.1429 termasuk kategori tinggi. Jadi hanya Jawa yang termasuk
kategori tinggi, sedangkan Sumatera masih di bawah rata-rata, yakni dengan UEKR
sebesar 0.1326. Apabila Jawa dan Sumatera digabung maka nilai UEKR mencapai
0.8959 atau mendominasi sebesar 89.59% ekonomi koperasi Indonesia. Sisanya
dibagi oleh Kalimantan, Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua. Berdasarkan
kawasan, KBI sangat mendominasi ekonomi koperasi nasional dengan UEKR mencapai
0.9075, artinya sebanyak 90.75% ekonomi koperasi nasional merupakan sumbangan
koperasi di KBI. Performa ekonomi koperasi tersebut di atas mencerminkan
ketimpangan antar propinsi, antar pulau, dan antar kawasan.
Kapasitas
ekonomi regional, yakni propinsi, pulau, dan kawasan, berdasarkan UER dan UEKR
yang tinggi ternyata belum menjamin tingginya peringkat propinsi itu dalam
performa ekonomi koperasi. Sebagaimana uraian pada Bab Rating dan Peringkat,
terungkap bahwa IPEKR beberapa propinsi yang memiliki kapasitas tinggi baik
ekonomi regional maupun ekonomi koperasi. Hanya Jawa Timur dan Jawa Tengah yang
masuk dalam kategori performa baik. Sedangkan Jawa Barat, Sumatera Utara, dan
DKI Jakarta tidak termasuk sebagai propinsi yang performanya baik. Justru
sebagian besar propinsi yang kapasitas ekonomi regional yang rendah menduduki
posisi tinggi dengan performa baik. Mengapa bisa begitu? Hal itu disebabkan
oleh kapasitas ekonomi regional yang tinggi tidak mampu menjadi penggerak
ekonomi koperasinya. Artinya, pengembangan ekonomi koperasi di bawah kemampuan
atau potensi ekonomi yang dimiliki. Misalnya Jawa Barat dengan UER sebesar
14.18% hanya mampu menciptakan UEKR sebesar 14.14%. Demikian juga DKI Jakarta
dengan UER 15.02% hanya mampu menciptakan UEKR sebesar 7.8%. Sementara
Gorontalo yang hanya mempunyai kapasitas ekonomi regional sebesar 0.07% malah
mampu menciptakan ekonomi koperasi sebesar 0.37%. Demikian juga Bali dengan kapasitas
ekonomi regional 1.12% mampu menciptakan ekonomi koperasinya sebesar 4.0%.
Berdasarkan pulau, Bali dan Nusa Tenggara yang hanya mempunyai kapasitas
ekonomi 2.55% ternyata mampu menciptakan ekonomi koperasi sebesar 5.38% yang
mengalahkan Jawa dengan kapasitas ekonomi regional mencapai 55.6% tapi hanya
mampu menciptakan ekonomi koperasi sebesar 73.5%. Sumatera misalnya, dengan
kapasitas ekonomi regionalnya mencapai 21.35% tapi hanya mampu menciptakan
ekonomi koperasi di Sumatera sebesar 13.26%, jauh di bawah kapasitasnya.
III. Penutup
Dari uraian di atas dapat dinyatakan model analisis
PEKR (Performa Ekonomi Koperasi Regional) dapat menjelaskan dengan baik posisi
propinsi dalam perekonomian koperasi. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa
peringkat tertinggi propinsi tidak selalu mencerminkan ukuran ekonomi regional
yang tinggi secara nasional. Justru beberapa propinsi yang kapasitas ekonomi
regionalnya rendah terhadap nasional menempati posisi yang tinggi ditinjau dari
performanya. Penyebabnya terkait pada strategi mobilisasi kekuatan ekonomi yang
tidak fokus pada koperasi. Walaupun para kepala daerah selalu menyatakan bahwa
koperasi menjadi andalan untuk memajukan ekonomi rakyat, ternyata tidak mampu
diwujudkan dalam proses pembangunan daerah. Dari kenyataan ini terindikasi
adanya kecendurangan bahwa pernyataan yang mengutamakan peran koperasi sebagai
sokoguru perekonomian rakyat lebih sekedar retorika politik dari kepala daerah yang
performanya rendah.
Ditinjau dari kapasitas ekonomi regional dan ukuran
ekonomi koperasi, kecenderungan terjadinya disparitas antar regional (propinsi,
pulau, dan kawasan). Disparitas ini disebabkan oleh dukungan fasilitas
(infrastruktur dan struktur) dan akses (pasar, informasi, dan finansial) yang
sangat berbeda, serta jumlah penduduk yang lebih banyak. Disparitas ini
tentunya tidak menguntungkan semua pihak baik secara lokal, regional, dan
nasional. Semestinya, economic size yang tinggi akan menyebabkan cooperative
economic size yang tinggi pula.
Untuk itu, sudah saatnya bagi kepala daerah yang
peringkatnya rendah tapi kapasitas ekonominya tinggi meninjau kembali rencana
strategi pembangunan daerah dan implementasi rencana tersebut agar tetap
memberikan bobot yang tinggi pada koperasi. Hal ini dimungkinkan karena otonomi
daerah memberikan keleluasaan kepala daera untuk mengambil keputusan yang tepat
sesuai dengan spesifik lokal daerahnya. Peringkat rendah propinsi dalam
pengembangan koperasi seyogianya menjadi pemicu peningkatan persaingan antar
daerah agar ekonomi koperasi semakin meningkat. Studi komparatif antar propinsi
dimungkinkan untuk mengetahui bagaimana upaya pengembangan ekonomi koperasi.
Misalnya, bagaimana Gorontalo yang kapasitas ekonomi regionalnya rendah secara
nasional mampu menduduki peringkat teratas dalam performa ekonomi koperasi.
DAFTAR
PUSTAKA
_____________,
(2005). World Investment Report. Website UNCTAD. Swiss.
_____________,
(2008). Statistik Indonesia 2008. Website BPS. Jakarta.
_____________,
(2008). Statistik Bank Indonesia. Websit BI. Jakarta
Situmorang,
Johnny W., (2006). Pemeringkatan Koperasi Berdasarkan Membership Dignity Performance Index. Studi Kasus
Koperasi di Kabupaten Bandung. Bahan Diskusi Isyusyu
Strategis, Kedeputian Pengkajian KUKM, Kementerian KUKM. Jakarta, Kamis 12 Oktober. Jakarta.
Situmorang,
Johnny W, Pariaman Sinaga, dan Rinie Sriyanti, (2006). Prototipe Model Pemeringkatan Koperasi Berdasarkan Cooperative
Membership Dignity Index. Studi Kasus
Koperasi di Kabupaten Bandung. Majalah Infokop, Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK, Kementerian Negara
KUKM, Desember 2006. Jakarta
Situmorang,
Johnny W., (2007). Sektor Industri Manufaktur Pilihan Investasi PMDN dan
PMA, Tahun 2001-2006.
Communication Paper, CBES. Jakarta, Pebruari.
__________________,
(2007). Performa Regional Menarik Investasi PMDN dan PMA, Tahun 2001-2006. CBES-Communication Paper,
Maret.
__________________,
(2007). Kalimantan Tengah Peringkat Pertama Menarik PMDN. Feature Website KB. Antara. Mei 2007.
__________________,
(2007). Pilihan Investasi PMDN Sektor Industri Manufaktur Dan PMA, Tahun 2001-2006. CBES-Communication
Paper, Maret 2007.
__________________,
(2007). Banten Peringkat Pertama Menarik PMA. CBESCommunication Paper, Mei 2007.
Situmorang,
Johnny W, dkk., (2007). Studi Pengembangan Model Pemeringkatan Koperasi. Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya
UMKM, Kementerian Negara KUKM. Jakarta
Nama : MUTIA AZILA
NPM : 25211046
Kelas : 2EB10
0 komentar on "Review Jurnal Ekonomi Koperasi 2.2"
Posting Komentar