REVIEW
I
PROSPEK
PENGEMBANGAN PERAN KOPERASI
DALAM
MASLAH PERBERASAAN
OLEH
TEUKU
SYARIF
http://www.smecda.com/kajian/files/jurnal/_6_%20Jurnal_Perberasan.pdf
ABSTRAK
Modifikasi kebijakan di
bidang beras yang dilakukan oleh pemerintah sejak tahun 2001 ternyata telah
mengembangkan mekanisme pemasaran beras untuk stok nasional. Kontribusi
Koperasi dalam mendukung pendapatan petani dan ketersediaan stok beras nasional
juga tampaknya tidak dapat mengubah persepsi terhadap kepentingan peran
koperasi untuk menjadi salah satu komponen penting dalam sistem beras nasional.
Dalam kondisi seperti ini, ternyata kooperatif masih berusaha untuk eksis
antara lain dengan mengembangkan beberapa model keamanan stok pangan seperti
bank padi, penyimpanan makanan, dan pusat-pusat pengolahan beberapa beras.
Model ini menjamin stok beras di pusat-pusat produksi serta di daerah defisit
pangan dan sekaligus mengurangi ketergantungan pada impor beras yang benar-benar
mengancam ketahanan nasional secara substansial. Keberadaan koperasi ini,
meskipun relatif kecil, tetapi menjadi dalam indikator bahwa koperasi masih
memiliki potensi untuk terlibat untuk mendukung sistem materi padi, yang masih
memiliki potensi untuk terlibat mendukung sistem materi padi, yang masih
dibutuhkan hanya pemikiran logis dari para pembuat kebijakan untuk
merevitalisasi peran koperasi dalam mendukung program ketahanan pangan nasional
yang benar-benar lebih pasti.
I. PENDAHULUAN
Perhitungan-Perhitungan
memang sangat menarik untuk dikaji secara lebih mendalam karena apa yang
dikemukakan sesungguhnya masih sangat sederhana dan cenderung mengesampingkan
banyak faktor lainya, yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi
pendapatan petani. Factor-faktor tersebut antara lain: 1) sebagai besar petani
adalah mereka yang tergolong dalam kelompok pengusaha mikro dan pengusaha
kecil, dengan kesiapan permodalan yang sangat sedikit sehingga akan sangat
mudah dipengaruhi oleh flutasi harga gabah/beras yang akan dijualnya. 2) pola
produksi dan konsumsi beras yang sudah beralih dari menyimpan gabah ke penjual
gabah pada waktu panen. 3) kecenderungan perum Bulog untuk membeli beras dan
bukan gabah sehingga petani harus mempunyai modal tambahan untuk melakukan
proses gabahnya menjadi beras. 4) keterbatasan kemampuan perum bulog untuk
berhubangan langsung dengan mitra usahanya yaitu para pedagang besar ditingkat
kabupaten. 5) perubahan status bulog dari badan menjadi perum yang berorientasi
pada profit. 6) Pemilikan sarana, ketersedian personil dan mekanisme kerja
bulog dalm pembelian gabah beras petani belum menjamin dapat dilaksananya
pembelian gabah/beras langsung dari petani. 7) dari ketujuh masalah diatas,
maka bentuk dan pola pemasaran beras di dalam negeri cenderung bersifat
oligopoly, dimana kelompok pedagang menjadi penentu harga, sedangkan petani
hanya berperan sebagai penerima harga.
Dalam upaya mendukung program pengadaan beras
nasional ini memang Perum Bulog sudah merangkul banyak pihak terutama para
pedagang beras ditingkat Kabupaten dan juga koperasi Pertanian (Koptan). Dalam
hal ini Perum bulog juga sudah menjalin kerjasama dengan Induk Koperasi
Pertanian (Inkoptan). Yang menjadi pertanyaan adalah sejauh mana kapasitas
Inkoptan dan Koptan tersebut dapat mendukung mekanisme pengadaan gabah beras
oleh Perum Bulog ? Diketahui bahwa Koptan belumlah memiliki pengalaman karena baru
mulai dibentuk pada tahun 1999. Koptan juga tidak memiliki sarana yang memadai
untuk melaksanakan kegiatan yang cukup besar dan cukup rumit tersebut.
Pembahasan
II.
Potensi Dan Kendala Koperasi
Keikutsertaan Koperasi dalam Program Swasembada
Pangan sudah dimulai sejak tahun 1974 dengan didirikannya Badan Usaha Unit Desa
yang kemudian berubah nama menjadi Koperasi Unit Desa. Selama lebih dari 30 tahun
tahun KUD secara aktif telah dilibatkan dalam kegiatan tersebut, tidak saja
dalam pengadaan gabah/beras untuk menudukung stok beras nasional, tetapi juga
dilibatkan dalam penyediaan sarana produksi padi (saprodi), pengolahan hasil dan
pemasarannya kepasaran umum (pasar bebas). Potensi Koperasi yang dalam hal ini
KUD dalam kegiatan pengadaan Gabah dan beras dalam beberapa Dasawarsa yang lalu
memang cukup besar, baik dilihat dari ketersedian sarana, maupun ketersedian
personil. Demikian juga sesungguhnya KUD mempunyai keterikatan usaha yang
sangat kuat dengan petani, walaupun keberhasilan KUD pada waktu itu belum lagi
optimal.
Disamping potensi yang dimiliki KUD juga menghadapi
banyak kendala dan permasalahan baik yang bersifat internal seperti kejujuran
pengelola KUD dalam menggunakan dana pengadaan gabah/beras yang bersumber dari pinjaman
pemerintah (dengan subsidi bunga), maupun masalah eksternal antara lain
hubungan dengan komponen sistem lainnya seperti dengan petani dan Perum Bulog,
yang tidak selalu kondusif. Pola hubungan dengan petani seharusnya dapat
ditingkatkan seandainya KUD dapat membeli langsung gabah beras dari petani,
tetapi pola pembelian seperti ini yang kemudian dikenal dengan Pola I, hampir
tidak pernah dilakukan oleh KUD, karena adanya banyak kendala antara lain; a)
petani sudah menjual dengan sistem tebasan; b) petani tidak memiliki lagi
lumbung-lumbung untuk menyimpan gabah sehingga harus menjual gabahnya langsung
di sawah sedangkan KUD dihadapkan pada masalah keterbatasan sarana angkutan dan
personil agar dapat langsung membeli gabah petani di sawah, serta kebiasaan KUD
untuk bekerjasama dengan para pedagang pengumpul (yang umumnya juga UMK yang
anggota
KUD).
Kebiasaan sebagian besar KUD untuk membeli
gabah/beras dari pedagang pengumpul atau memberikan pinjaman modal kepada para
pedagang pengumpul nampaknya tidak dapat dijadikan justifikasi bahwa KUD belum memberikan
dampak positif bagi para anggotanya. Hal ini dapat dibuktikan dengan besarnya
fluktuasi harga di tingkat petani dari tahun 1983 samapai
dengan
tahun 1998 yang dikeluarkan oleh Badan Litbang Koperasi Departemen Koperasi dan
UKM pada tahun 1999. Fluktuasi rata-rata selama 15 tahun tersebut hanya sebesar
8,91% dengan yang tertinggi 11,29% tahun 1991 dan terendah 6,64% tahun 1996.
Angka fluktuasi ini akan sangat berbeda juka dibandingkan dengan keadaan tahun
2004 samapi dengan tahun 2006 yang rata-rata mencapai 17,89%. Dari data diatas
mungkin dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa
keikutsertaan
KUD dalam pengadaan gabah beras stok nasional dapat menekan fluktuasi harga
yang secara langsung mengurangi kerugian petani. Dari sini selanjutnya dapat
dikemukakan bahwa sesungguhnya KUD mempunyai potensi untuk menjadi stabilisator
harga ditingkat petani, dan apa yang dilakukan KUD dalam pelaksanaan program
ini seperti kerjasama sama dengan para pedagang pengumpul masih bisa ditolerir,
karena para pedagang itu sendiri adalah kelompok UMKM yang notabene juga adalah
anggota KUD. Yang tidak dapat ditolerir adalah kerjasama KUD dengan para
pedagang besar yang dikenal dengan istilah Sleeping patner. Tetapi kasus ini
relatif kecil dan dari hasil penelitian Badan litbang koperasi tahun 1995
diketahui kasus tersebut hanya melibatkan 12,8% KUD yang ikut dalam Program
Pengadaaan Pangan, terutama
di
daerah-daerah sentra produksi seperti di Pulau Jawa dan Sulawesi Selatan. Hal
inipun terjadi karena adanya pembatasan dan aturan yang dikeluarkan oleh Bulog
yang sangat ketat dalam hal pemenuhan kualitas gabah beras yang disetorkan oleh
KUD.
Berbeda dengan kondisi sebelum tahun 2000-an,
sekarang Perum Bulog secara terang-terangan menyatakan telah mampu memenuhi 16%
dari target pengadaan/Beras produksi dalam negeri melalui usaha kemitraan
dengan para pedagang beras ditingkat kabupaten (biasa disebut pemilik tempat
penampungan gabah/beras atau TP) yang merupakan patner usahanya. Kerjasama
dengan para pedagang ini jelas legal apalagi menghadapi era keterbukaan yang memungkinkan
Perum Bulog dapat bekerjasama dengan siapa saja yang bisa mendukung tujuan
pemenuhan stok beras nasional. Yang menjadi pertanyaan apakah dengan pola ini
harga gabah ditingkat petani sudah membaik, sehingga dapat mendorong petani
untuk lebih meningkatkan lagi produksi gabahnya. Untuk mendapatkan jawaban
kongkrit atas pertanyaan ini mungkin masih memerlukan waktu satu atau dua tahun
kedepan, tetapi yang pasti fluktuasi harga yang cukup besar ditingkat petani
merupakan indikasi awal bahwa petani masih menjadi komponen sistem yang
terlemah (hanya sebagai price taker) dalam sistem perberasan. Dalam hal ini
mungkin dapat disitir pernyataan Sweezi (1978) yang mengatakan bahwa dalam
suatu sistem, in-efisiensi yang terjadi dalam sistem tersebut akan ditanggung
oleh komponen sistem yang terlemah. Hal inilah yang patut diwaspadai, karena
bila terjadi maka petani tidak akan dapat banyak menerima manfaat dari
kebijakan perberasan yang sekarang berlaku dan berakibat pada tidak adanya
rangsanga bagi petani untuk meningkatkan produksi beras.
Permasalahan diatas nampaknya merupakan derivasi
dari masalah pokok dalam sistem perberasan di Indonesia selama lebih dari enam
puluh tahun, yaitu belum adanya kelembagaan yang berfungsi optimal dalam
mengatur pendistribusian sumberdaya dan margin dari sistem perberasan diantara
semua komponen sistem dalam sistem tersebut yaitu petani produsen, konsumen dan
pedagang. Di era orde baru koperasi ditetapkan sebagai kelembagaan dalam sistem
perberasan, tetapi peran koperasi belum juga dinilai optimal karena masih
adanya berbagai kendala yang seharusnya dapat diselesaikan melalui kebijakan
yang bersandar pada konsep optimalitas dan bukan maksimalitas peran dari
lembaga tersebut. Koperasi dalam hal ini memang merupakan kumpulan orang yang
memiliki kepentingan yang sama (homogen). Orang-orang tersebut bersatu dalam
wadah koperasi untuk meningkatkan kesejahteraannya, dalam arti bila petani,
maka yang diinginkan adalah mendapatkan harga jual yang lebih baik, sehingga
margin yang diterima akan lebih besar. Sedangkan bagi konsumen yang diinginkan
adalah harga beli yang rendah. Dengan demikian menyatukan kedua keinginan
tersebut dalam satu wadah kelembagaan nampaknya akan mendapatkan kesulitan,
oleh sebab itu diperlukan dua bentuk kelembagaan koperasi yaitu koperasi
produsen atau koperasi petani dan koperasi konsumen.
Konsepsi yang demikian mendudukkan koperasi sebagai
badan usaha yang memiliki peran strategis bagi anggotanya baik petani maupun
konsumen. Dalam era orde baru selama lebih dari duapuluh tahun, koperasi
terutama KUD mampu memposisikan diri sebagai lembaga yang diperhitungkan dalam program
pengadaan pangan nasional. Peran KUD juga mau atau tidak mau harus diakui
secara langsung telah mendukung keberhasilan pencapaian swasembada beras pada
tahun 1985. Demikian juga jumlah produksi petani harus diakui secara signifikan
dipengaruhi oleh ketersediaan prasarana dan sarana produksi mulai dari pupuk,
bibit, obat obatan, RMU yang juga dilakukan oleh KUD.
Demikian juga keterlibatan KUD dalam pemasaran gabah
atau beras telah membantu stabilitas harga gabah di tingkat petani. Peran
koperasi dari sisi konsumen, menyangkut ketersediaan bahan pangan bagi konsumen
terutama diperkotaan memang belum sebesar peran KUD di pedesaan dan hal ini berkaitan
langsung dengan sistem pemasaran beras di perkotaan yang merupakan pasar bebas
dan lebih berorientasi pada kualitas dan bukan kuantitasnya Memperhatikan
keberhasilan koperasi dalam mendukung sistem perberasan di Indonesia dan
perubahan kebijakan yang secara tidak langsung telah menghapus peran tersebut
memang seharusnya dapat dijadikan sebagai bahan kajian dalam menyelesaikan
masalah perberasan yang dihadapi sekarang ini. Sebelum krisis di tahun 1997
terdapat lebih dari delapan ribu koperasi yang turut berperan dalam mendukung
program pengadaan pangan nasional. Dalam era reformasi jumlah dengan perubahan
kebijakan terutama setelah tahun 2003 terjadi penurunan menjadi kurang dari
2000 koperasi. Peran koperasi tersebut juga tidaklah sebesar sebelumnya karena
tidak adanya dukungan kredit dari pemerintah, baik untuk tujuaan penyediaan sarana
produksi maupun untuk pengadaan gabah beras dari petani. Perubahan kebijakan
ini juga telah mendorong koperasi untuk melakukan inovasi anatara lain dengan
membangun model-model pelayanan dalam bidang pangan seperti bank padi, lumbung pangan,
dan sentra-sentra pengolahan padi. Perubahan kebijakan pemerintah dalam
distribusi pupuk dan pengadaan beras memberikan dampak serius dalam mendukung
produksi padi nasional.
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan
Nomor : 356/MPP/KEP/5/2004 yang membebaskan penyaluran pupuk dilakukan baik oleh
swasta maupun koperasi/KUD Indikasi yang terlihat dari ketidak populeran dari
kebijakan ini adalah timbulnya masalah kelangkaan persediaan pupuk, harga pupuk
yang sering jauh lebih tinggi di atas Harga Eceran Tertinggi (HET). Demikian
juga terjadi kecenderungan monopoli penyaluran pupuk oleh swasta. Peran
koperasi/KUD dalam penyaluran pupuk menurun drastis karena koperasi tidak
didukung lagi oleh ketersediaan dana dari kredit pemerintah untuk pembelian
pupuk. Penurunan peran koperasi terlihat dari hanya 40% atau 930 unit dari
2.335 KUD (saat koperasi/KUD memiliki kewenangan penuh) terlibat dalam
tataniaga pupuk. Dalam kenyataannya jumlah inipun sulit teridentifikasi.
Dalam hal penanganan ketersediaan pangan, penurunan jumlah
koperasi dari 8.427 koperasi sebelum krisis (tahun 1997) menjadi 7.150 koperasi
setelah krisis (tahun 2000) juga merupakan indikasi penurunan peran koperasi
dalam menunjang ketahanan pangan (Kementrian Koperasi dan UKM, 2003). Padahal koperasi
selama ini telah memiliki sejumlah fasilitas penunjang (gudang, lantai jemur,
RMU, dan lain-lain) yang mendukung pengadaan produksi gabah/beras, dan koperasi
mewadahi sejumlah besar petani padi. Akumulasi kelangkaan dan kenaikan harga
pupuk dengan penurunan peran koperasi berdampak serius bagi peningkatan
produksi gabah/beras petani, dan mengindikasikan bahwa kemampuan ketahanan
pangan dari sisi penawaran (supply side) melemah. Kekurangan produksi
gabah/beras di dalam negeri memaksa dilakukannya impor beras yang berarti
kerugian ganda. Di satu sisi merupakan pengeluaran devisa untuk tujuan
konsumtif, sedangkan disisi yang lain potensi sumberdaya nasional berupa lahan,
dan tenaga manusia (SDM) tidak termanfaatkan dengan optimal. Kondisi ini tidak
terlepas dari konsepsi pembangunan nasional yang cenderung masih berorientasi
pada sektor industri untuk mengejar pertumbuhan dalam waktu cepat.
Koperasi sebenarnya memiliki peran mendasar dalam
penguatan ekonomi petani yakni melalui penjaminan ketersediaan pupuk dan harga
terjangkau bagi petani, penanganan dan pengolahan gabah petani di saat surplus
maupun defisit produksi, penjaminan nilai tukar dan income petani, membuka
berbagai akses teknologi, informasi, pasar, dan bisnis kepada petani. Dalam
tujuan ketahanan pangan, koperasi telah mengembangkan beberapa model pengamanan
persediaan pangan diantaranya model bank padi, lumbung pangan, dan
sentra-sentra pengolahan padi. Model-model ini berperan menjamin persediaan
gabah/beras baik di daerah sentra produksi maupun daerah defisit pangan dan
sekaligus mengurangi ketergantungan terhadap impor beras yang sebenarnya secara
substansial mengancam ketahanan nasional. Karena itu bagaimana memerankan
koperasi sebagai lembaga ekonomi petani dan penguatan agribisnis di dalam perekonomian
pasar sangatlah diperlukan.
Nama : MUTIA AZILA
NPM : 25211046
Kelas : 2EB10
0 komentar on "Review Jurnal Ekonomi Koperasi 4.1"
Posting Komentar