Minggu, 02 Desember 2012

Review Jurnal Ekonomi Koperasi 4.1

Diposting oleh Mutia Azila di 07.34

REVIEW I
PROSPEK PENGEMBANGAN PERAN KOPERASI
DALAM MASLAH PERBERASAAN
OLEH
TEUKU SYARIF
http://www.smecda.com/kajian/files/jurnal/_6_%20Jurnal_Perberasan.pdf

ABSTRAK
Modifikasi kebijakan di bidang beras yang dilakukan oleh pemerintah sejak tahun 2001 ternyata telah mengembangkan mekanisme pemasaran beras untuk stok nasional. Kontribusi Koperasi dalam mendukung pendapatan petani dan ketersediaan stok beras nasional juga tampaknya tidak dapat mengubah persepsi terhadap kepentingan peran koperasi untuk menjadi salah satu komponen penting dalam sistem beras nasional. Dalam kondisi seperti ini, ternyata kooperatif masih berusaha untuk eksis antara lain dengan mengembangkan beberapa model keamanan stok pangan seperti bank padi, penyimpanan makanan, dan pusat-pusat pengolahan beberapa beras. Model ini menjamin stok beras di pusat-pusat produksi serta di daerah defisit pangan dan sekaligus mengurangi ketergantungan pada impor beras yang benar-benar mengancam ketahanan nasional secara substansial. Keberadaan koperasi ini, meskipun relatif kecil, tetapi menjadi dalam indikator bahwa koperasi masih memiliki potensi untuk terlibat untuk mendukung sistem materi padi, yang masih memiliki potensi untuk terlibat mendukung sistem materi padi, yang masih dibutuhkan hanya pemikiran logis dari para pembuat kebijakan untuk merevitalisasi peran koperasi dalam mendukung program ketahanan pangan nasional yang benar-benar lebih pasti.

I.      PENDAHULUAN
Perhitungan-Perhitungan memang sangat menarik untuk dikaji secara lebih mendalam karena apa yang dikemukakan sesungguhnya masih sangat sederhana dan cenderung mengesampingkan banyak faktor lainya, yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi pendapatan petani. Factor-faktor tersebut antara lain: 1) sebagai besar petani adalah mereka yang tergolong dalam kelompok pengusaha mikro dan pengusaha kecil, dengan kesiapan permodalan yang sangat sedikit sehingga akan sangat mudah dipengaruhi oleh flutasi harga gabah/beras yang akan dijualnya. 2) pola produksi dan konsumsi beras yang sudah beralih dari menyimpan gabah ke penjual gabah pada waktu panen. 3) kecenderungan perum Bulog untuk membeli beras dan bukan gabah sehingga petani harus mempunyai modal tambahan untuk melakukan proses gabahnya menjadi beras. 4) keterbatasan kemampuan perum bulog untuk berhubangan langsung dengan mitra usahanya yaitu para pedagang besar ditingkat kabupaten. 5) perubahan status bulog dari badan menjadi perum yang berorientasi pada profit. 6) Pemilikan sarana, ketersedian personil dan mekanisme kerja bulog dalm pembelian gabah beras petani belum menjamin dapat dilaksananya pembelian gabah/beras langsung dari petani. 7) dari ketujuh masalah diatas, maka bentuk dan pola pemasaran beras di dalam negeri cenderung bersifat oligopoly, dimana kelompok pedagang menjadi penentu harga, sedangkan petani hanya berperan sebagai penerima harga.
Dalam upaya mendukung program pengadaan beras nasional ini memang Perum Bulog sudah merangkul banyak pihak terutama para pedagang beras ditingkat Kabupaten dan juga koperasi Pertanian (Koptan). Dalam hal ini Perum bulog juga sudah menjalin kerjasama dengan Induk Koperasi Pertanian (Inkoptan). Yang menjadi pertanyaan adalah sejauh mana kapasitas Inkoptan dan Koptan tersebut dapat mendukung mekanisme pengadaan gabah beras oleh Perum Bulog ? Diketahui bahwa Koptan belumlah memiliki pengalaman karena baru mulai dibentuk pada tahun 1999. Koptan juga tidak memiliki sarana yang memadai untuk melaksanakan kegiatan yang cukup besar dan cukup rumit tersebut.

Pembahasan
II.    Potensi Dan Kendala Koperasi
Keikutsertaan Koperasi dalam Program Swasembada Pangan sudah dimulai sejak tahun 1974 dengan didirikannya Badan Usaha Unit Desa yang kemudian berubah nama menjadi Koperasi Unit Desa. Selama lebih dari 30 tahun tahun KUD secara aktif telah dilibatkan dalam kegiatan tersebut, tidak saja dalam pengadaan gabah/beras untuk menudukung stok beras nasional, tetapi juga dilibatkan dalam penyediaan sarana produksi padi (saprodi), pengolahan hasil dan pemasarannya kepasaran umum (pasar bebas). Potensi Koperasi yang dalam hal ini KUD dalam kegiatan pengadaan Gabah dan beras dalam beberapa Dasawarsa yang lalu memang cukup besar, baik dilihat dari ketersedian sarana, maupun ketersedian personil. Demikian juga sesungguhnya KUD mempunyai keterikatan usaha yang sangat kuat dengan petani, walaupun keberhasilan KUD pada waktu itu belum lagi optimal.
Disamping potensi yang dimiliki KUD juga menghadapi banyak kendala dan permasalahan baik yang bersifat internal seperti kejujuran pengelola KUD dalam menggunakan dana pengadaan gabah/beras yang bersumber dari pinjaman pemerintah (dengan subsidi bunga), maupun masalah eksternal antara lain hubungan dengan komponen sistem lainnya seperti dengan petani dan Perum Bulog, yang tidak selalu kondusif. Pola hubungan dengan petani seharusnya dapat ditingkatkan seandainya KUD dapat membeli langsung gabah beras dari petani, tetapi pola pembelian seperti ini yang kemudian dikenal dengan Pola I, hampir tidak pernah dilakukan oleh KUD, karena adanya banyak kendala antara lain; a) petani sudah menjual dengan sistem tebasan; b) petani tidak memiliki lagi lumbung-lumbung untuk menyimpan gabah sehingga harus menjual gabahnya langsung di sawah sedangkan KUD dihadapkan pada masalah keterbatasan sarana angkutan dan personil agar dapat langsung membeli gabah petani di sawah, serta kebiasaan KUD untuk bekerjasama dengan para pedagang pengumpul (yang umumnya juga UMK yang anggota
KUD).
Kebiasaan sebagian besar KUD untuk membeli gabah/beras dari pedagang pengumpul atau memberikan pinjaman modal kepada para pedagang pengumpul nampaknya tidak dapat dijadikan justifikasi bahwa KUD belum memberikan dampak positif bagi para anggotanya. Hal ini dapat dibuktikan dengan besarnya fluktuasi harga di tingkat petani dari tahun 1983 samapai
dengan tahun 1998 yang dikeluarkan oleh Badan Litbang Koperasi Departemen Koperasi dan UKM pada tahun 1999. Fluktuasi rata-rata selama 15 tahun tersebut hanya sebesar 8,91% dengan yang tertinggi 11,29% tahun 1991 dan terendah 6,64% tahun 1996. Angka fluktuasi ini akan sangat berbeda juka dibandingkan dengan keadaan tahun 2004 samapi dengan tahun 2006 yang rata-rata mencapai 17,89%. Dari data diatas mungkin dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa
keikutsertaan KUD dalam pengadaan gabah beras stok nasional dapat menekan fluktuasi harga yang secara langsung mengurangi kerugian petani. Dari sini selanjutnya dapat dikemukakan bahwa sesungguhnya KUD mempunyai potensi untuk menjadi stabilisator harga ditingkat petani, dan apa yang dilakukan KUD dalam pelaksanaan program ini seperti kerjasama sama dengan para pedagang pengumpul masih bisa ditolerir, karena para pedagang itu sendiri adalah kelompok UMKM yang notabene juga adalah anggota KUD. Yang tidak dapat ditolerir adalah kerjasama KUD dengan para pedagang besar yang dikenal dengan istilah Sleeping patner. Tetapi kasus ini relatif kecil dan dari hasil penelitian Badan litbang koperasi tahun 1995 diketahui kasus tersebut hanya melibatkan 12,8% KUD yang ikut dalam Program Pengadaaan Pangan, terutama
di daerah-daerah sentra produksi seperti di Pulau Jawa dan Sulawesi Selatan. Hal inipun terjadi karena adanya pembatasan dan aturan yang dikeluarkan oleh Bulog yang sangat ketat dalam hal pemenuhan kualitas gabah beras yang disetorkan oleh KUD.
Berbeda dengan kondisi sebelum tahun 2000-an, sekarang Perum Bulog secara terang-terangan menyatakan telah mampu memenuhi 16% dari target pengadaan/Beras produksi dalam negeri melalui usaha kemitraan dengan para pedagang beras ditingkat kabupaten (biasa disebut pemilik tempat penampungan gabah/beras atau TP) yang merupakan patner usahanya. Kerjasama dengan para pedagang ini jelas legal apalagi menghadapi era keterbukaan yang memungkinkan Perum Bulog dapat bekerjasama dengan siapa saja yang bisa mendukung tujuan pemenuhan stok beras nasional. Yang menjadi pertanyaan apakah dengan pola ini harga gabah ditingkat petani sudah membaik, sehingga dapat mendorong petani untuk lebih meningkatkan lagi produksi gabahnya. Untuk mendapatkan jawaban kongkrit atas pertanyaan ini mungkin masih memerlukan waktu satu atau dua tahun kedepan, tetapi yang pasti fluktuasi harga yang cukup besar ditingkat petani merupakan indikasi awal bahwa petani masih menjadi komponen sistem yang terlemah (hanya sebagai price taker) dalam sistem perberasan. Dalam hal ini mungkin dapat disitir pernyataan Sweezi (1978) yang mengatakan bahwa dalam suatu sistem, in-efisiensi yang terjadi dalam sistem tersebut akan ditanggung oleh komponen sistem yang terlemah. Hal inilah yang patut diwaspadai, karena bila terjadi maka petani tidak akan dapat banyak menerima manfaat dari kebijakan perberasan yang sekarang berlaku dan berakibat pada tidak adanya rangsanga bagi petani untuk meningkatkan produksi beras.
Permasalahan diatas nampaknya merupakan derivasi dari masalah pokok dalam sistem perberasan di Indonesia selama lebih dari enam puluh tahun, yaitu belum adanya kelembagaan yang berfungsi optimal dalam mengatur pendistribusian sumberdaya dan margin dari sistem perberasan diantara semua komponen sistem dalam sistem tersebut yaitu petani produsen, konsumen dan pedagang. Di era orde baru koperasi ditetapkan sebagai kelembagaan dalam sistem perberasan, tetapi peran koperasi belum juga dinilai optimal karena masih adanya berbagai kendala yang seharusnya dapat diselesaikan melalui kebijakan yang bersandar pada konsep optimalitas dan bukan maksimalitas peran dari lembaga tersebut. Koperasi dalam hal ini memang merupakan kumpulan orang yang memiliki kepentingan yang sama (homogen). Orang-orang tersebut bersatu dalam wadah koperasi untuk meningkatkan kesejahteraannya, dalam arti bila petani, maka yang diinginkan adalah mendapatkan harga jual yang lebih baik, sehingga margin yang diterima akan lebih besar. Sedangkan bagi konsumen yang diinginkan adalah harga beli yang rendah. Dengan demikian menyatukan kedua keinginan tersebut dalam satu wadah kelembagaan nampaknya akan mendapatkan kesulitan, oleh sebab itu diperlukan dua bentuk kelembagaan koperasi yaitu koperasi produsen atau koperasi petani dan koperasi konsumen.
Konsepsi yang demikian mendudukkan koperasi sebagai badan usaha yang memiliki peran strategis bagi anggotanya baik petani maupun konsumen. Dalam era orde baru selama lebih dari duapuluh tahun, koperasi terutama KUD mampu memposisikan diri sebagai lembaga yang diperhitungkan dalam program pengadaan pangan nasional. Peran KUD juga mau atau tidak mau harus diakui secara langsung telah mendukung keberhasilan pencapaian swasembada beras pada tahun 1985. Demikian juga jumlah produksi petani harus diakui secara signifikan dipengaruhi oleh ketersediaan prasarana dan sarana produksi mulai dari pupuk, bibit, obat obatan, RMU yang juga dilakukan oleh KUD.
Demikian juga keterlibatan KUD dalam pemasaran gabah atau beras telah membantu stabilitas harga gabah di tingkat petani. Peran koperasi dari sisi konsumen, menyangkut ketersediaan bahan pangan bagi konsumen terutama diperkotaan memang belum sebesar peran KUD di pedesaan dan hal ini berkaitan langsung dengan sistem pemasaran beras di perkotaan yang merupakan pasar bebas dan lebih berorientasi pada kualitas dan bukan kuantitasnya Memperhatikan keberhasilan koperasi dalam mendukung sistem perberasan di Indonesia dan perubahan kebijakan yang secara tidak langsung telah menghapus peran tersebut memang seharusnya dapat dijadikan sebagai bahan kajian dalam menyelesaikan masalah perberasan yang dihadapi sekarang ini. Sebelum krisis di tahun 1997 terdapat lebih dari delapan ribu koperasi yang turut berperan dalam mendukung program pengadaan pangan nasional. Dalam era reformasi jumlah dengan perubahan kebijakan terutama setelah tahun 2003 terjadi penurunan menjadi kurang dari 2000 koperasi. Peran koperasi tersebut juga tidaklah sebesar sebelumnya karena tidak adanya dukungan kredit dari pemerintah, baik untuk tujuaan penyediaan sarana produksi maupun untuk pengadaan gabah beras dari petani. Perubahan kebijakan ini juga telah mendorong koperasi untuk melakukan inovasi anatara lain dengan membangun model-model pelayanan dalam bidang pangan seperti bank padi, lumbung pangan, dan sentra-sentra pengolahan padi. Perubahan kebijakan pemerintah dalam distribusi pupuk dan pengadaan beras memberikan dampak serius dalam mendukung produksi padi nasional.
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor : 356/MPP/KEP/5/2004 yang membebaskan penyaluran pupuk dilakukan baik oleh swasta maupun koperasi/KUD Indikasi yang terlihat dari ketidak populeran dari kebijakan ini adalah timbulnya masalah kelangkaan persediaan pupuk, harga pupuk yang sering jauh lebih tinggi di atas Harga Eceran Tertinggi (HET). Demikian juga terjadi kecenderungan monopoli penyaluran pupuk oleh swasta. Peran koperasi/KUD dalam penyaluran pupuk menurun drastis karena koperasi tidak didukung lagi oleh ketersediaan dana dari kredit pemerintah untuk pembelian pupuk. Penurunan peran koperasi terlihat dari hanya 40% atau 930 unit dari 2.335 KUD (saat koperasi/KUD memiliki kewenangan penuh) terlibat dalam tataniaga pupuk. Dalam kenyataannya jumlah inipun sulit teridentifikasi.
Dalam hal penanganan ketersediaan pangan, penurunan jumlah koperasi dari 8.427 koperasi sebelum krisis (tahun 1997) menjadi 7.150 koperasi setelah krisis (tahun 2000) juga merupakan indikasi penurunan peran koperasi dalam menunjang ketahanan pangan (Kementrian Koperasi dan UKM, 2003). Padahal koperasi selama ini telah memiliki sejumlah fasilitas penunjang (gudang, lantai jemur, RMU, dan lain-lain) yang mendukung pengadaan produksi gabah/beras, dan koperasi mewadahi sejumlah besar petani padi. Akumulasi kelangkaan dan kenaikan harga pupuk dengan penurunan peran koperasi berdampak serius bagi peningkatan produksi gabah/beras petani, dan mengindikasikan bahwa kemampuan ketahanan pangan dari sisi penawaran (supply side) melemah. Kekurangan produksi gabah/beras di dalam negeri memaksa dilakukannya impor beras yang berarti kerugian ganda. Di satu sisi merupakan pengeluaran devisa untuk tujuan konsumtif, sedangkan disisi yang lain potensi sumberdaya nasional berupa lahan, dan tenaga manusia (SDM) tidak termanfaatkan dengan optimal. Kondisi ini tidak terlepas dari konsepsi pembangunan nasional yang cenderung masih berorientasi pada sektor industri untuk mengejar pertumbuhan dalam waktu cepat.
Koperasi sebenarnya memiliki peran mendasar dalam penguatan ekonomi petani yakni melalui penjaminan ketersediaan pupuk dan harga terjangkau bagi petani, penanganan dan pengolahan gabah petani di saat surplus maupun defisit produksi, penjaminan nilai tukar dan income petani, membuka berbagai akses teknologi, informasi, pasar, dan bisnis kepada petani. Dalam tujuan ketahanan pangan, koperasi telah mengembangkan beberapa model pengamanan persediaan pangan diantaranya model bank padi, lumbung pangan, dan sentra-sentra pengolahan padi. Model-model ini berperan menjamin persediaan gabah/beras baik di daerah sentra produksi maupun daerah defisit pangan dan sekaligus mengurangi ketergantungan terhadap impor beras yang sebenarnya secara substansial mengancam ketahanan nasional. Karena itu bagaimana memerankan koperasi sebagai lembaga ekonomi petani dan penguatan agribisnis di dalam perekonomian pasar sangatlah diperlukan.

Nama   : MUTIA AZILA
NPM   : 25211046
Kelas   : 2EB10

               

0 komentar on "Review Jurnal Ekonomi Koperasi 4.1"

Posting Komentar

 

' Mutia Azila Sweet Cupcake Designed by Ipietoon