Alternatif
Solusi dalam
Masalah
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
Isu menyangkut masalah perburuhan di
Indonesia seakan tidak pernah ada habisnya. Berbagai kasus yang menyangkut
perburuhan hampir setiap saat menghiasi media nasional kita. Fenomena terakhir
adalah mengenai demo buruh yang berlangsung di beberapa daerah seperti Bekasi,
Serang, dan Cikampek. Berbagai aksi yang dilakukan oleh kaum buruh tersebut
bahkan membuat banyak warga lain mengalami kerugian karena aksi-aksi tersebut
dilakukan di ruang publik sehingga mengganggu akses masyarakat pada fasilitas
publik dan menggangu ketenangan masyarakat yang notabene tidak mengetahui latar
belakang dari aksi tersebut. Dengan berbagai efek yang ditimbulkan dari aksi
buruh itu, sudah sepatutnya kita mencoba menggali lebih dalam penyebab dari
aksi buruh tersebut untuk kemudian dapat kita cari solusi untuk menanganinya
sehingga permasalahan seperti ini dapat diselesaiakn dengan baik. Masalah aksi
buruh ini dapat disebabkan oleh banyak faktor namun tulisan ini hanya akan
mencoba mengulas sedikit dari salah satu sebab maraknya aksi yang dilakukan
oleh buruh yaitu mengenai pemutusan hubungan kerja dan upaya alternatif untuk
mencegah dan menanggulanginya.
Kompleksnya masalah
Bagi Pekerja masalah Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK) merupakan masalah yang kompleks. Hal ini karena PHK akan
berimbas pada masalah ekonomi, psikologi, bahkan lebih lanjut bisa berimbas
pada masalah kriminalitas. Masalah ekonomi karena PHK akan menyebabkan
hilangnya pendapatan sehingga buruh yang di PHK otomatis akan mengalami
kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sedangkan masalah psikologi
berkaitan dengan hilangnya status seseorang yang memberikan psikis tersendiri
bagi pihak yang di PHK. Imbas dari hal tersebut dapat merambat kedalam masalah
pengangguran dan kriminalitas. Jadi dapatlah dikatakan bahwa masalah pemutusan
hubungan kerja merupakan masalah yang menyangkut kehidupan manusia serta
kepentingan masyarkat luas. Bagi perusahaan, pemutusan hubungan kerja
sebenarnya juga kerugian tersendiri karena mereka harus melepas pekerja yang
telah dididik dan telah mengetahui cara-cara bekerja di perusahaannya. Selain
itu dengan dilakukannya PHK terhadap sejumlah karyawan tentu akan menimbulkan
dampak psikis tersendiri terhadap karyawan lain dan bukan tidak mungkin kinerja
karyawan yang masih bertahan di perusahaan akan menurun. Terjadinya pemutusan
hubungan kerja dengan demikian bukan hanya menimbulkan kesulitan bagi pekerja
tetapi juga akan menimbulkan kesulitan bagi perusahaan. Belum lagi aksi-aski
yang timbul setelahnya apabila PHK tersebut tidak dilaksanakan sesuai
kesepakatan kedua belah pihak.
PHK dapat terjadi karena telah
berakhirnya waktu tertentu yang telah disepakati bersama atau diperjanjikan
sebelumnya dan dapat pula terjadi karena adanya perselisihan perburuhan.
Pemutusan hubungan kerja yang terjadi karena berakhirnya waktu yang telah
ditentukan dalam perjanjian tidak menimbulkan masalah bagi kedua belah pihak
yaitu pekerja dan pengusaha karena kedua belah pihak tentu telah mengetahui saat
berakhirnya perjanjian kerja tersebut. Namun pemutusan hubungan kerja yang
terjadi karena adanya perselisihan, akan sangat mungkin menimbulkan ekses
negatif yang apabila tidak dikelola dengan baik maka akan menimbulkan dampak
serta kerugian bagi perusahaan itu sendiri maupun bagi masyarakayt luas.
Maraknya aksi-aksi buruh tekait PHK trsebut meurpakan cermin dari kurang
profesionalitasnya pengelolaan terkait maslah hubungan industrial pada umumnya
dan PHK itu sendiri pada khususnya.
Hukum yang belum efektif
Tidak dapat dipungkiri bahwa
hubungan antara buruh dan pengusaha merupakan hubungan yang tidak seimbang.
Kedua belah pihak memiliki posisi tawar yang berbeda. Agar kedua belah pihak
dapat melaksanakan hubungan kerja dengan baik tanpa adanya tindakan sewenang-wenang
dari salah satu pihak, maka diperlukan adanya campur tangan dari pemerintah
dalam bentuk peraturan-perundang-undangan. Adanya peraturan perundang-undangan
ditujukan untuk pengendalian. Baik pemberi pekerja maupun yang diberi
pekerjaan, masing-masing harus terkendali atau masing-masing harus menundukkan
diri pada segala ketentuan dan peraturan yang berlaku yang didasari dengan
tanggung jawab dalam melaksanakan kegiatan masing-masing sesuai dengan tugas
dan wewenangnya sehingga keserasian dan keselarasan dapat terwujud. Itulah
tujuan dari lahirnya penggaturan perundang-undangan mengenai perburuhan. Namun
di dalam teori hukum sendiri kita mengenal adanya konsep das sollen dan
das sein. Apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan, apa yang
seharusnya dilaksanakan belum tentu akan sama dengan pelaksanaan dilapangan.
Hal ini juga yang terjadi dalam hal Pemutusan Hubungan Kerja. Apa-apa yang
telah diatur dalam peraturan perundang-undangan belum tentu akan sama dengan
pelaksanaan mengenai Pemutusan Hubungan Kerja di lapangan.
Pengaturan hukum mengenai pemutusan
hubungan kerja telah disusun sedemikian rupa oleh pemerintah sebagai pihak
regulator. Mulai dari pengaturan di level undang-undang, Peraturan Menteri
hingga Keputusan menteri yang khusus mengatur mengenai pemutusan hubungan kerja
ini. Namun sepertinya banyaknnya pengaturan mengenai pemutusan hubungan kerja
tersebut belum cukup mampu untuk bisa mengatasi masalah Pemutusan Hubungan
Kerja. Hal ini Nampak dari masih maraknya aksi-aksi berupa deomonstrasi,
perusakan pabrik serta mogok massal yang dilakukan pekerja akibat adanya
Pemutusan Hubungan Kerja. Aksi-aksi buruh akibat terjadinya Pemutusan Hubungan
Kerja di daerah Pasuruan pada November 2011, aksi buruh “Pocari Sweat” pada
Oktober 2011 serta terakhir aksi buruh pabrik sepatu di Tangerang yang bahkan
melibatkan juga salah satu ormas Islam, merupakan bukti bahwa pendekatan secara
hukum ternyata belum efektif untuk menyelesaikan masalah terkait Pemutusan
Hubungan Kerja ini.
Pendekatan Manajerial
Melihat kurang mampunya mekanisme
hukum dalam menangani masalah pemutusan hubungan kerja ini, maka penulis merasa
diperlukan pendekatan lain untuk mencoba menyelesaikan masalah terkait
Pemutusan Hubungan Kerja. Pendekatan tersebut adalah pendekatan manajerial.
Pendekatan manajerial akan memiliki kekuatan sendiri yang jauh lebih efektif
dibanding dengan pendekatan hukum semata karena pendekatan manajerial lebih
condong pada pembinaan hubungan kerja antara atasan dan bawahan serta antara
karyawan dan karyawan. Dengan pendekatan manajerial hubungan antara atasan dan
bawahan serta antara karyawan dan karyawan yang menjadi point penting dalam
hubungan kerja mendapat porsi yang lebih besar. Ketika terjadi masalah antara
buruh dan perusahaan, dalam pendekatan manajerial diperlukan kesepakatan
persepsi. Semakin besar kesamaan persepsi, semakin langgenglah hubungan kerja
dan semakin puaslah karyawan dengan hubungan mereka. Jika mereka merasa bahwa
perusahaan menghargai dan memahami nilai serta perasaannya, maka akan terjalin
komunikasi yang terbuka dan positif. Dengan perlakuan seperti ini, buruh dipandang
sebagai faktor internal perusahaan dan sebagai bagian yang tidak terpisahkan
atau sebagai unsur konstruktif yang membangun perusahaan menjadi lebih baik.
Membina hubungan kerja antara
atasan-bawahan memang tidak mudah. Perlu adanya perubahan pemahaman tentang
pentingnya posisi karyawan dalam sebuah perusahaan. Mekanisme kerja yang
terjadi di dalam suatu perusahaan meliputi relasi antara atasan-bawahan dan antar
bawahan atau sesama rekan kerja. Relasi atau hubungan kerja ini seharusnya
bukanlah hubungan yang berbasis “kekuasaan”, melainkan hubungan yang bertumpu
pada konsep mekanisme kerja yang saling menguntungkan. Adakalanya seorang
atasan hanya ingin mendengar apa yang ingin dia dengar. Hal ini tidak dapat
menciptakan hubungan kerja yang baik. Yang terjadi adalah perusahaan semakin
keropos dan hubungan kerja menjadi tidak menyenangkan. Sebaliknya, bila sikap
didasarkan pada pendekatan manajerial dimana kepercayaan, penghargaan dan
pengakuan kompetensi, maka hal itu akan memotivasi bawahan untuk kelangsungan
inisiatif dan kreativitas bawahannya sehingga akan memicu berkembangnya
profesionalisme,
Terakhir, pendekatan hukum bukan hal
yang tidak perlu, justru pendekatan hukum merupakan faktor penting untuk
menjaga keharmonisan hubungan kerja. Namun perlu diingat bahwa pendekatan hukum
adalah bagian akhir dari penyelesaian masalah hubungan industrial apabila
secara manajerial tidak mampu diselesaikan.
Posisi yang tidak
seimbang antara buruh danmajikan/atasan dan bawahan memang membuat
kecenderungan majikan untuk berbuat sewenang- wenang kepada pekerja / buruhnya.
Buruh dipandang sebagai obyek. Namun hal tersebut perlu diubah jika kita
menginginkan hubungan kerja yang harmonis anara buruh dan majikan. Buruh harus
dipandang sebagai faktor internal perusahaan, sebagai bagian yang tidak
terpisahkan atau sebagai unsur konstruktif yang membangun perusahaan lebih
baik. Mekanisme kerja yang terjadi di
dalam suatu perusahaan meliputi relasi antara atasan-bawahan dan antar bawahan
atau sesama rekan kerja. Relasi atau hubungan kerja ini bukanlah hubungan yang
berbasis “kekuasaan” melainkan hubungan yang bertumpu pada konsep mekanisme
kerja yang saling menguntungkan. Dengan adanya hal ini maka perselisihan
yang terjadi terutama pad tingkat Pemutusan Hubungan kerja dapat jauh ditekan.
Sumber:
http://birokrasi.kompasiana.com/2012/05/10/mencari-alternatif-solusi-dalam-masalah-pemutusan-hubungan-kerja-phk-456330.html
Nama: Mutia Azila
NPM: 25211046
0 komentar on "Alternatif Solusi dalam Masalah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)"
Posting Komentar