Perilaku
Etika Dalam Bisnis
3.
Kepedulian Pelaku Bisnis Terhadap Etika
Keberadaan etika dan moral pada diri seseorang atau
sekelompok orang sangat tergantung pada kualitas sistem
kemasyarakatan yang melingkupinya. Walaupun
seseorang atau sekelompok orang dapat mencoba mengendalikan kualitas etika
dan moral mereka, tetapi sebagai sebuah variabel yang sangat rentan terhadap pengaruh kualitas sistem kemasyarakatan, kualitas etika dan moral seseorang atau sekelompok orang
sewaktu-waktu dapat berubah. Baswir (2004) berpendapat bahwa pembicaraan mengenai etika dan moral bisnis
sesungguhnya tidak
terlalu relevan bagi Indonesia. Jangankan masalah etika dan moral, masalah tertib hukum pun masih belum
banyak mendapat perhatian. Sebaliknya, justru
sangat lumrah di negeri ini untuk menyimpulkan bahwa berbisnis
sama artinya dengan
menyiasati hukum. Akibatnya, para pebisnis di Indonesia tidak dapat lagi membedakan antara batas wilayah
etika dan moral dengan wilayah hukum. Wilayah
etika dan moral adalah sebuah wilayah pertanggungjawaban pribadi.
Sedangkan wilayah hukum adalah wilayah
benar dan salah yang harus dipertanggungjawabkan
di depan pengadilan. Akan tetapi memang itulah kesalahan kedua
dalam memahami masalah etika dan moral di Indonesia. Pencampuradukan antara
wilayah etika dan moral dengan wilayah hukum seringkali menyebabkan kebanyakan orang
Indonesia 5 tidak bisa membedakan antara
perbuatan yang semata-mata tidak sejalan dengan
kaidah-kaidah etik dan moral, dengan perbuatan yang masuk kategori
perbuatan melanggar hukum. Sebagai misal,
sama sekali tidak dapat dibenarkan bila masalah
korupsi masih didekati dari sudut etika dan moral. Karena masalah
korupsi sudah jelas
dasar hukumnya, maka masalah itu haruslah didekati secara hukum. Demikian halnya dengan masalah
penggelapan pajak, pencemaran lingkungan, dan
pelanggaran hak asasi manusia.
Mungkin ada
sebagian masyarakat yang belum mengenali apa itu etika dalam berbisnis. Bisa
jadi masyarakat beranggapan bahwa berbisnis tidak perlu menggunakan etika,
karena urusan etika hanya berlaku di masyarakat yang memiliki kultur budaya
yang kuat. Ataupun etika hanya menjadi wilayah pribadi seseorang. Tetapi pada
kenyataannya etika tetap saja masih berlaku dan banyak diterapkan di masyarakat
itu sendiri. Bagaimana dengan di lingkungan perusahaan? Perusahaan juga sebuah
organisasi yang memiliki struktur yang cukup jelas dalam pengelolaannya. Ada
banyak interaksi antar pribadi maupun institusi yang terlibat di dalamnya.
Dengan begitu kecenderungan untuk terjadinya konflik dan terbukanya
penyelewengan sangat mungkin terjadi. Baik dalam tataran manajemen ataupun
personal dalam setiap team maupun hubungan perusahaan dengan lingkungan
sekitar. Untuk itu etika ternyata diperlukan sebagai kontrol akan kebijakan,
demi kepentingan perusahaan itu sendiri Oleh karena itu kewajiban perusahaan
adalah mengejar berbagai sasaran jangka panjang yang baik bagi masyarakat.
Pelaku
bisnis dituntut untuk peduli dengan keadaan masyarakat, bukan hanya dalam
bentuk “uang” dengan jalan memberikan sumbangan, melainkan lebih kompleks lagi.
Artinya sebagai contoh kesempatan yang dimiliki oleh pelaku bisnis untuk
menjual pada tingkat harga yang tinggi sewaktu terjadinya excess demand harus
menjadi perhatian dan kepedulian bagi pelaku bisnis dengan tidak memanfaatkan
kesempatan ini untuk meraup keuntungan yang berlipat ganda. Jadi, dalam keadaan
excess demand pelaku bisnis harus mampu mengembangkan dan memanifestasikan sikap
tanggung jawab terhadap masyarakat sekitarnya. Tanggung jawab sosial bisa dalam
bentuk kepedulian terhadap masyarakat di sekitarnya, terutama dalam hal
pendidikan, kesehatan, pemberian latihan keterampilan, dll.
Dalam menciptakan etika bisnis, ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain ialah:
1. Pengendalian diri
Artinya, pelaku-pelaku bisnis dan
pihak yang terkait mampu mengendalikan diri mereka masing-masing untuk tidak
memperoleh apapun dari siapapun dan dalam bentuk apapun. Disamping itu, pelaku
bisnis sendiri tidak mendapatkan keuntungan dengan jalan main curang dan
menekan pihak lain dan menggunakan keuntungan dengan jalan main curang dan
menakan pihak lain dan menggunakan keuntungan tersebut walaupun keuntungan itu
merupakan hak bagi pelaku bisnis, tetapi penggunaannya juga harus memperhatikan
kondisi masyarakat sekitarnya. Inilah etika bisnis yang “etis”.
2. Pengembangan tanggung jawab sosial
(social responsibility)
Pelaku bisnis disini dituntut untuk
peduli dengan keadaan masyarakat, bukan hanya dalam bentuk “uang” dengan jalan
memberikan sumbangan, melainkan lebih kompleks lagi. Artinya sebagai contoh
kesempatan yang dimiliki oleh pelaku bisnis untuk menjual pada tingkat harga
yang tinggi sewaktu terjadinya excess demand harus menjadi perhatian dan
kepedulian bagi pelaku bisnis dengan tidak memanfaatkan kesempatan ini untuk
meraup keuntungan yang berlipat ganda. Jadi, dalam keadaan excess demand pelaku
bisnis harus mampu mengembangkan dan memanifestasikan sikap tanggung jawab
terhadap masyarakat sekitarnya.
3. Mempertahankan jati diri
Tidak mudah untuk terombang-ambing
oleh pesatnya perkembangan informasi dan teknologi Bukan berarti etika bisnis
anti perkembangan informasi dan teknologi, tetapi informasi dan teknologi itu
harus dimanfaatkan untuk meningkatkan kepedulian bagi golongan yang lemah dan
tidak kehilangan budaya yang dimiliki akibat adanya tranformasi informasi dan
teknologi.
4. Menciptakan persaingan yang sehat
Persaingan dalam dunia bisnis perlu
untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas, tetapi persaingan tersebut tidak
mematikan yang lemah, dan sebaliknya, harus terdapat jalinan yang erat antara
pelaku bisnis besar dan golongan menengah kebawah, sehingga dengan
perkembangannya perusahaan besar mampu memberikan spread effect terhadap
perkembangan sekitarnya. Untuk itu dalam menciptakan persaingan perlu ada
kekuatan-kekuatan yang seimbang dalam dunia bisnis tersebut.
5. Menerapkan konsep “pembangunan
berkelanjutan”
Dunia bisnis seharusnya tidak
memikirkan keuntungan hanya pada saat sekarang, tetapi perlu memikirkan
bagaimana dengan keadaan dimasa mendatang. Berdasarkan ini jelas pelaku bisnis
dituntut tidak meng-”ekspoitasi” lingkungan dan keadaan saat sekarang
semaksimal mungkin tanpa mempertimbangkan lingkungan dan keadaan dimasa datang
walaupun saat sekarang merupakan kesempatan untuk memperoleh keuntungan besar.
6. Menghindari sifat 5K (Katabelece,
Kongkalikong, Koneksi, Kolusi dan Komisi)
Jika pelaku bisnis sudah mampu
menghindari sikap seperti ini, kita yakin tidak akan terjadi lagi apa yang
dinamakan dengan korupsi, manipulasi dan segala bentuk permainan curang dalam
dunia bisnis ataupun berbagai kasus yang mencemarkan nama bangsa dan negara.
7. Mampu menyatakan yang benar itu benar
Artinya, kalau pelaku bisnis itu
memang tidak wajar untuk menerima kredit (sebagai contoh) karena persyaratan
tidak bisa dipenuhi, jangan menggunakan “katabelece” dari “koneksi” serta
melakukan “kongkalikong” dengan data yang salah. Juga jangan memaksa diri untuk
mengadakan “kolusi” serta memberikan “komisi” kepada pihak yang terkait.
Sumber:
http://xsaelicia.blogspot.com/2012/10/perilaku-etika-dalam-bisnis.html
http://syamiaji.blogspot.com/2012/11/perilaku-etika-dalam-bisnis.html
Nama: Mutia. Azila
Npm: 25211046
Kls: 4EB10
Tugas softskill: Etika Profesi Akuntansi
0 komentar on "Perilaku Etika Dalam Bisnis (3)"
Posting Komentar